Malam ini badan mas Widi meriang. Kukira dia terlalu banyak begadang di luar. Sudah dibilangi kalau malam-malam nggak usah begadang. Apalagi di luar rumah. Angin malam tak bagus buat kesehatan. Dia tak peduli.Â
Akhirnya aku ngeroki punggungnya untuk mengurangi masuk anginnya. Biar lekas pulih. Sambil ngeroki punggungnya tak henti mulutku bicara. Aku sendiri tak tau, sebenarnya aku protes dengan kebiasaannya atau kesal dan marah.Â
"Udah. Kalau mas meriang tuh jangan dimarahi, sayang. Dirawat aja...", komentarnya.Â
"Habis, mas tuh suka ngeyel. Ngapain pula begadang terus di luar. Kan jadi masuk angin..."
"Kalau aku masuk angin kan ada yang ngeroki..."
Aku tengsin mendengar ucapannya barusan.Â
"Ketimbang aku pegang Hp terus, nanti kamu cemburu...", ujarnya lagi.Â
Cemburu? Ah... dia mengada-ada. Yang ada dia sendiri cemburu sampai Hpku dibanting olehnya. Sampai kini aku tak mau pegang Hp lagi meski sudah dibelikan HP baru. Akhirnya dia sering kelabakan sendiri karena tak bisa berkomunikasi denganku di hari dan jam kerja.Â
Aku masih setia dengan ocehan. Pasti dia tak mengira kalau aku cerewet. Dulu dia melihatku tak banyak bicara ---baca kalem---. Sekarang aku cerewet juga karena peduli dengan kesehatannya. Ketika dia menimpali ucapanku dengan satu kalimat kujawab dengan puluhan kalimat.Â
Akhirnya aku selesai ngeroki mas Widi. Segera aku menuju meja makan. Kusiapkan makan untuknya. Mas Widi mengikutiku.Â
"Suami sakit kok kamu marah dan protes melulu to, sayang. Bisa tambah pusing dan nggak sembuh-sembuh nanti..."