Sudah hari ketiga sejak aku mengatakan akan melamarnya seminggu lagi. Namun sampai saat ini tak jua kudapatkan jawaban dari gadis tekun yang bekerja di kantorku.Â
Aku hanya melihatnya dari kejauhan seperti biasa. Dibandingkan dengan pegawaiku yang masih single, terlihat dia memiliki daya tarik. Lugu, tak neko- neko berdandan, anggun. Kalau cantik itu relatif.Â
Kalau dibandingkan secara fisik, gadis itu kalah dengan kekasihku dulu. Berlawanan seratus delapan puluh derajat.Â
Aku melihatnya berdandan istimewa hanya ketika di hajatan saudaranya. Kebetulan aku diundang sama Tio, sahabat dekatku semasa kuliah dulu. Tio adalah teman yang menyaksikan jatuh bangun karirku dan juga menyemangatiku.Â
Gadis lugu itu sangat manglingi. Cantik. Ya mungkin dia memang tak suka dandan di keseharian sehingga begitu dimake up terlihat luar biasa auranya. Benar-benar membuatku semakin jatuh cinta.Â
Setelah acara di hajatan saudaranya kurasakan dia rikuh. Tak seperti biasanya. Ah... aku jadi sedikit menyesal, mengapa aku langsung bilang ingin datang ke rumahnya dan melamarnya? Mengapa aku tak pedekate dulu?Â
***
Aku tak ingin membandingkan gadis lugu itu dengan mantan kekasihku. Tapi kalau pun kubandingkan dia tetap memiliki nilai lebih. Dalam mendirikan shalat terutama. Mungkin cara berpikirku sudah saatnya kuubah. Mencari jodoh tak hanya melihat fisik dan prestasi kuliah yang sempurna. Itu takkan menjamin hubungan langgeng atau tidak.Â
Mantan kekasihku semasa kuliah selalu di atas 3,7 IPKnya. Dia bunga kampus. Bangga bisa mendapatkan hatinya. Meski aku berasal dari keluarga miskin, dia dari kalangan darah biru. Cinta tetap bersemi di hati kami. Sampai akhirnya keluarganya menentang hubungan kami. Bahkan sampai usahaku berkembang pesat, tidaklah meluluhkan hati orangtuanya.Â
***
Kukirimkan pesan lagi untuk gadis itu. Kuharap respon baik yang kudapatkan. Pesan yang dulu sama sekali tak ada respon. Lama menanti balasannya membuatku galau dan penasaran. Sebentar-sebentar kucek HPku.Â