Di saat dunia maya tersaji berita perlakuan tidak sopan dan tidak bermoral siswa kepada gurunya, di saat itu pula saya merasa kangen kepada guru-guru dan dosen yang telah membimbing dan mendidik penuh kasih. Penuh kasih tak berarti mereka tak pernah marah kepada kami, murid atau mahasiswanya.
Sungguh, perlakuan guru atau dosen kami, yang kami rasakan telah menempa kami menjadi sosok manusia yang harus mandiri, ulet, bertanggungjawab baik karena kesalahan kami atau bukan. Ada banyak hal yang mereka sampaikan kepada kami akan arti perjuangan untuk meraih cita-cita. Meski dulu ketika bersekolah pun belum ada gambaran ingin menjadi apa. Barulah selepas lulus SMA, saya pribadi menyadari bahwa saya cenderung mengikuti hal yang dikerjakan orangtua yaitu menjadi guru.
Jangan tanya bagaimana sikap guru atau dosen kami ketika ada kelakuan negatif kami. Marah pasti. Mencubit juga pernah. Namun kami tak berani bercerita kepada orang tua. Takut kena marah kesekian kali setelah guru kami marah. Justru kenangan itulah yang membuat saya kangen dengan sosok guru yang tegas.
Tak seperti saat ini, guru berada dalam kondisi serba salah. Guru tegas kepada siswa malah merasakan derita karena dihadapkan pada HAM anak. Mencubit bisa jadi perkara yang berat jika orangtua tidak terima anaknya dicubit.Â
Payung hukum pun seolah tak melindungi guru untuk mendidik siswa secara tegas. Ketika guru diam saja diperlakukan tidak sopan siswanya, guru dinilai tak berwibawa. Tapi di lain hari ada pernyataan kalau guru tidak boleh memerankan diri sebagai hakim dan polisi.
Ah... guru memang bukan hakim dan polisi. Guru adalah orangtua selama siswa berada di sekolah. Tampaknya ada yang lupa akan hal itu. Sebagai orangtua bagi mereka, jelas guru mendidik siswa layaknya anak sendiri. Terkadang lembut, tegas, sesekali marah ketika mendidik dan membimbingnya. Ya seperti tindakan orangtua kandungnya.
Saya yakin tidak ada orangtua yang tidak pernah marah dan menghukum anak kandungnya. Lalu kalau orangtua melakukan tindakan itu akhirnya ada larangan bahwa orangtua tidak boleh memerankan diri sebagai polisi dan hakim?
Menjadi orangtua pastilah mengarahkan anak ke hal baik. Begitu juga guru. Sudah ada tupoksi guru serta pengalaman yang dipelajari ketika kuliah maupun universitas kehidupan sekolah dalam menghadapi siswa.
Kalau guru tidak boleh tegas dan harus berwibawa di sisi lain rasanya cukup lucu. Yang jelas, saat ini saya merindukan guru- guru, yang menginspirasi dalam kehidupan saya. Meski untuk menghubungi mereka rasanya juga tak mungkin. Selain karena sudah sepuh dan tidak memungkinkan memegang HP, banyak guru yang sudah berpulang kehadirat Illahi. Hanya doa untuk mereka, semoga mereka yang sudah berpulang husnul khatimah dan yang masih gesang( hidup) selalu dikaruniai sisa usia yang penuh barakah.
Merasakan sendiri betapa rindunya kepada sosok guru maka di era milenium ini banyak siswa yang menyapa lewat dunia maya. Tak jarang mereka bertanya, berkomentar pada postingan di akun sosmed. Meski kadang tak ingat secara personal jati diri mereka, saya sapa atau balas pertanyaan atau komentar mereka. Saking lupanya, agar aman saya panggil mereka dengan sapaan dik.Â
Ada juga siswa yang dulu pernah kabur dan melompat pagar sekolah yang secara terang-terangan minta maaf lewat inbox. Tak ada dendam sedikitpun meski dulunya kesal. Kesal karena khawatir akan masa depannya.