Seharian ini saya belum menulis dan memposting tulisan di Kompasiana. Seharian momong anak dan melakukan aktivitas rutin setiap hari Minggu mulai dari mencuci, menyetrika, masak. Plus jaringan internet sulit diajak kompromi.
Setelah agak longgar waktunya dan jaringan internet mulai bersahabat, saya membaca- baca beragam link yang dishare di berbagai sosmed. Salah satunya berita video viral tentang seorang siswa dari SMP PGRI Wringinanom yang menantang gurunya, Nur Khalim.
Video tersebut direkam pada tanggal 2 Februari dan menjadi viral saat ini. Video tersebut memperlihatkan seorang siswa yang berani menantang gurunya. Namun setelah terjadi mediasi Nur khalim memaafkan siswanya. Orang tua siswa secara terbuka meminta maaf kepada Nur Kalim atas tindakan anaknya dan kedepannya dia berjanji akan menjaga anaknya dengan baik.
Mediasi tersebut dihadiri sang guru, Nur Kalim, dan si siswa. Si siswa datang didampingi kedua orang tuanya Slamet Arianto (47) dan Anik serta pihak dari Perlindungan Perempuan Anak Jatim, pegawai Kementerian Sosial, Yayasan PGRI, dan  Kapolsek Wringinanom AKP Supiyan.
Sungguh miris dan memprihatinkan sekali melihat fenomena seperti itu. Seolah menjadi pengingat bagi para orang tua untuk lebih memperhatikan anak dan pergaulannya. Bagaimanapun karakter yang terbentuk dari rumah dan pergaulan akan sangat lekat di hati anak. Sekolah, dalam hal ini guru, hanya mengarahkan anak ketika di sekolah.Â
Guru adalah sosok orangtua siswa ketika berada di sekolah namun harus mendapat perlakuan tidak sopan dari siswanya. Bisa dikatakan guru adalah orangtua kedua bagi siswa. Harusnya dihormati. Kalaupun ada sesuatu hal yang kurang pas dari guru maka sudah seharusnya dikomunikasikan dengan baik.
Bicara baik- baik dengan guru pasti lebih enak. Kalau perlu siswa mengajak orang tuanya agar tidak terjadi kesalahpahaman. Orangtua sering salah paham ketika sang anak menceritakan kejadian di sekolah karena si anak kadang tidak jujur dalam menceritakannya.Â
Akhirnya orangtua datang ke sekolah mencak- mencak atau marah. Bahkan ada orang tua yang mengancam akan melaporkan guru ke dinas atau langsung menghajar guru. Beruntung untuk kasus ini orangtua siswa menyadari kesalahan anaknya dan berjanji akan lebih memperhatikan anaknya.
Kadang orangtua lupa bahwa guru adalah mitra yang sangat berjasa bagi anaknya dalam menuntut ilmu. Padahal dalam mendidik anak guru tak jemu- jemunya memberikan nasehat. Siswa malah sering menghina atau bisa saja menantang. Orang tua sering membela anak tanpa tahu duduk persoalannya. Akibatnya orangtua jadi malu sendiri ketika melihat dan menyadari bahwa anaknyalah yang bersalah.
Pendidikan karakter masih jauh dari hasil yang maksimal. Tapi bukan tidak mungkin pendidikan karakter seperti religius, nasionalis, mandiri, gotongroyong dan integritas dikembangkan oleh sekolah dan dengan pantauan orangtua atau lingkungan masyarakat. Paling tidak anak dididik tata krama atau unggah- ungguh agar bisa menghormati orang lain, terutama orang yang lebih tua. Jangan jemu- jemu memberikan nasehat atau mengingatkan jika ada anak atau remaja yang melakukan perilaku menyimpang.
Orang tua juga harus berbesar hati jika sang anak diberi nasihat orang lain. Orangtua harus berterima kasih kepada mereka karena turut mengingatkan anak kita. Tentunya agar perilaku anak lebih terarah dan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Orangtua pasti ingin memiliki anak yang membanggakan. Oleh karenanya orangtua harus bertanggung jawab pula atas pendidikan anak di rumah.