Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Perjodohan (5)

19 Desember 2018   14:45 Diperbarui: 24 Juli 2020   08:29 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah 1

Kisah 2

Kisah 3

Kisah 4

Bagian 5

"Maaf, dik. Aku mengantar kamu pulang dengan kendaraan umum. Uangku habis untuk biaya pengobatanmu. Tapi kalau kamu mau menunggu beberapa bulan, mungkin aku bisa memesankan tiket pesawat..."

Waduh... Aku bingung sendiri. Di tengah rasa bahagia mau dipulangkan, malah Fahri tak pegang uang banyak. Aku berpikir keras, kalau tak segera pulang aku bisa tambah tersiksa di sini. Kalau mau cepat pulang aku harus naik bus umum. Gengsi masih ku pegang teguh. Padahal aku sendiri tak punya uang. Akhirnya aku mengangguk. Lebih baik cepat pulang, daripada di kampung lebih lama.


***

Dalam perjalanan pulang, aku merasa bahagia meski hanya dengan bus umum. Yang penting pulang dan segera diceraikan Fahri. Aku tersenyum puas.

Tiba-tiba terdengar suara HP berbunyi. Fahri menerima telepon. Siapa lagi kalau bukan ibunya yang telepon. Tapi... Tunggu. Aku merasa ada yang aneh.

"Itu HP siapa, mas?", Tanyaku ke Fahri.

"Punyaku, dik..."

"Smartphone-nya kok nggak dibawa...?"

"Sudah pindah tangan, dik. Dik Sinta malu ya aku temani terus bawa HP kuno kayak gini...?"

Aku menggeleng. Aku berbohong. Jelas aku malu. Zaman modern gini, HP jadul kayak gitu.

"Uang hasil penjualan smartphone buat naik bus ini...", Ceritanya singkat.

Aku terpaku. Demi kebahagiaanku, demi kesehatanku Fahri menghabiskan seluruh tabungannya. Ku lihat wajahnya yang selalu berpaling ketika bicara denganku. Di tangannya ada buku. Untuk menghilangkan rasa jenuhnya pasti. Sementara aku pegang HP pemberiannya ketika usia pernikahan kami tepat satu tahun.

Ku perhatikan dia konsentrasi penuh dengan bukunya. Sekilas ku lihat foto usang yang digunakannya untuk pembatas bukunya.

"Foto siapa tu, mas?"tanyaku agak kepo juga.

"Foto gadis kecilku,dik. Dia anak dari teman bapak. Dia lucu dan menggemaskan. Sayangnya aku tak pernah berjumpa dengannya. Kabar pun tak ku dengar..."


"Boleh aku lihat foto itu?"

"Tak usah, dik.. Foto ini nggak penting buat dik Sinta..."

Fahri menutup buku dan menyelipkan foto di buku itu.

***

"Aku shalat dulu, dik. Mumpung sopir bus istirahat. Kamu ikut?"

Aku menggelengkan kepalaku. Dia maklum. Selama tinggal di rumahnya, aku sama sekali tak shalat. Pernah sih Fahri mengingatkan, tapi aku marah-marah. Habis itu dia tak mengingatkan aku lagi.


Lama juga Fahri belum kembali ke bus. Aku iseng-iseng mencari buku yang dibacanya tadi. Aku penasaran dengan gadis kecil cantik yang diceritakan tadi. Dengan mudah buku dan foto kutemukan. Aku kaget sekali melihat foto usang itu. Aku ingat, aku pernah juga memiliki foto itu. Shock banget
melihatnya. Ternyata Fahri adalah teman yang dulu sering ku tanyakan kepada ayah. Ya...Fahri adalah sosok mas yang sering bermain denganku di masa kecil dulu. Sosok yang selalu ingin aku temui.


***

Fahri sampai juga ke dalam bus lagi. 

"Makan dulu, dik. Nih tadi aku beli di luar..."

Fahri menyerahkan bungkusan nasi kepadaku. Tanganku bergetar menerimanya. Pasti uang untuk membelinya juga dari penjualan smartphone-nya.

"Aduh, dik. Kok gemetaran gitu. Maaf, tadi kelamaan pesan nasinya. Dik Sinta cepat makan biar nggak pingsan..."


Aku mengangguk. Terharu, shock, bahagia bersama Fahri. Aku merasa bodoh, tak bisa mengenalinya selama ini.

"Dik Sinta geser ke sana aja. Biar aman. Nggak terganggu orang yang lalu lalang..." Aku duduk di kursi sebelah dalam yang tadinya buat duduk Fahri.
Aku segera membuka bungkusan nasi dari Fahri. Aku makan sesuap demi sesuap nasi itu. Ku lihat Fahri mengobrol dengan penumpang lain. Entah dia sudah makan atau belum. Ku tahu uang di dompetnya harus dihemat biar bisa pulang lagi ke kampung.

"Mas... Mas sudah makan?", Aku mencolek lengannya. Dia mengangguk.

"Pasti mas belum makan kan?"

"Sudah kok, dik. Kenapa? Nggak enak ya nasi bungkusnya?"

Aku menggeleng.

"Mas pasti belum makan. Sinta suapi ya..."

Dia bersikeras tak mau. Aku tahu selama ini aku keterlaluan. Aku minta cerai segala. Dia pasti sudah menyerah untuk memperjuangkan dan mempertahankanku.Buktinya dia bersedia mengantar aku pulang.

Akhirnya nasi bungkus itu aku habiskan. Aku mulai belajar menghargai Fahri. Meski itu mungkin terlambat.

Kusimpan HP di tas. Aku merasa kosong melihat aneka aplikasi di HP. Biasanya aku begitu menikmati game atau aplikasi sosmed. Aku pusing dan lelah. Kusandarkan kepalaku ke lengan Fahri. Kurasakan nyaman bersamanya.
***

"Dik, bangun. Aku mau turun dulu.", Fahri membangunkan aku. Ku kucek mataku yang masih pedas.

"Aku mau shalat Subuh dulu. Tasku bisa dik Sinta gunakan untuk bantal...", Ucapnya.

Aku buka mataku. Ku lihat jam tanganku. Ternyata lama juga aku tidur. Ku lihat Fahri beranjak dari kursi penumpang. Turun dari bus dan menuju mushola.


"Mas Fahri. Tunggu...", Seruku.

Fahri menghentikan langkahnya.

"Ada apa, dik? Mau ke kamar mandi? Tuh...di sebelah sana...", Fahri menunjukkan letak kamar mandi khusus perempuan.


"Bukan, mas. Aku ingin ikut shalat." Ucapku. Fahri merasa surprise mendengarnya.

" Mas kan yang jadi imam...?", Tanyaku.

"Biasanya yang jadi imam tu yang sudah sepuh, dik. Orang sekitar mushola sini. Nanti kita jadi makmum saja..."


"Bukan itu maksudku..."

"Lalu apa to, dik? Sudah wudhu dulu terus masuk mushola. Ada mukena biasanya..."

"Iya, mas. Tapi aku boleh minta sesuatu kan, mas?"

Dia mengangguk. Seperti biasa, wajahnya tak melihat ke arahku.

"Mas tetap jadi imamku ya, mas..."

 Ku lihat dia kaget. Aku tersenyum dan menggandeng tangan kirinya menuju tempat wudhu.

---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun