Ayah tak menjelaskan lagi kepadaku. Aku benar-benar kesal. Aku membanting HP terbaruku. Sementara ibuku hanya diam. Beliau tak banyak bicara. Apabila ayah sudah berkata demikian, ibu pun tak bisa menolak. Benar-benar isteri shalihah. Tapi aku tak suka padanya.
"Kok ibu tak membelaku?" Tanyaku dengan suara tinggi.
Ibu menghela nafas panjang. Digelengkan kepalanya. Mungkin beliau juga merasa aku keterlaluan.
"Kami ingin kamu lebih mandiri, Sinta..."
"Mandiri apa? Lihatlah Bu... Kita sudah punya segalanya. Rumah, mobil, motor, tanah .. semua ada. Mewah lagi. Untuk apa mandiri? Toh nanti bisa perintah pembantu..."
"Nah... Itulah yang menjadi kekhawatiran kami, Sinta. Kamu sudah dewasa. Usia sudah 24 tahun. Belum lulus juga. Apa-apa hanya perintah sama simbok Atun. Ibu saja masih sering melakukan banyak hal sendiri selama bisa ibu lakukan sendiri..."
"Itu salah ibu!" Seruku. Aku segera keluar rumah. Aku ingin pergi dari rumah ini. Aku tak sudi hidup di rumah ini. Ayah ibuku tak berpandangan modern. Kolot sekali mereka. Tak mau mengerti keinginan putri semata wayangnya.
***Bersambung***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H