Mohon tunggu...
Adhya Singgih
Adhya Singgih Mohon Tunggu... -

Penggiat anti korupsi

Selanjutnya

Tutup

Money

Ekonomi Masih Morat-Marit, Cadangan Devisa Terus Menurun

16 Desember 2015   04:34 Diperbarui: 16 Desember 2015   04:34 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Ekonomi kita saat ini menuju morat-marit. Persoalan tampak kian rumit bila dikaitkan dengan tuntutan kenaikan upah buruh, dan kegemaran menteri, yang menurut presiden Jokowi sendiri, lebih suka menjadi komentator ketimbang bekerja. Celakanya lagi, para pemilik duit punya banyak ‘drone’ di arena politik dan birokrasi untuk melindungi hak istimewa mereka seperti memonopoli impor melalui sistem Importir Tunggal.

Lelakon Freeport, yang telah membuat banyak orang berang, mungkin bisa sedikit meringankan beban. Maklumlah, yang menjadi tokoh-tokoh antagonis adalah mereka yang berada di luar pemerintah. Namun, ketika lelakon ini usai, pemerintah dan masyarakat tentu harus kembali ke dunia nyata.

Salah satu kenyataan yang harus dihadapi adalah merosotnya cadangan devisa, dan menurunnya daya beli masyarakat. Pemerintah juga harus siap membayar bunga dan fee lebih banyak kepada para kapitalis pasar uang yang membeli dan menjadi penjamin surat utang pemerintah di pasar komersial.

Lihat saja, untuk tahun 2016, pemerintah sudah berencana menerbitkan surat utang senilai Rp 327,2 triliun. Tahun ini, yang sudah terbit bernilai Rp 265 triliun. Secara keseluruhan, Indonesia membutuhkan utang baru Rp 605,3 triliun untuk membiayai APBN 2016. Runyamnya, tahun depan para pemberi utang tampaknya bakal minta bunga lebih tinggi karena kondisi perekonomian nasional dan internal yang masih serba suram.

Para kreditor tentu juga tahu bahwa pemerintah Indonesia ibarat ‘nafsu besar tenaga kurang’. Lihat saja, meski perolehan pajak meleset jauh dari sasaran sampai Dirjen Pajak undur diri, target tahun pajak tahun depan malah digelembungkan dari Rp 1.489,3 triliun menjadi Rp 1.546,7 trilliun. Karakter yang tak realistis ini tentu saja membuat tingkat resiko ekonomi Indonesia lebih tinggi.

Sementara itu, suka atau tidak, belanja pemerintah terus membengkak akibat rupiah tak kunjung bugar terhadap mata uang kuat dunia. Akibatnya, pembayaran cicilan terhadap utang berdenominasi dollar dsb naik. Biaya pembangunan infrastruktur, yang masih tergantung pada komponen impor, otomatis naik juga.

Maka tak mengherankan bila cadangan devisa nasional tergerus. Menurut catatan BI, cadangan devisa Indonesia akhir November 2015 turun 500 juta dolar AS dibandingkan bulan sebelumnya menjadi US$ 100,2 miliar. Oktober tahun lalu, ketika Jokowi dilantik jadi presiden, dibandingkan bulan sebelumnya, cadangan devisa RI naik dari US$ 111,2 miliar menjadi US$ 112,0 miliar.

Cadangan deisa tersebut tampak kecil bila dibandingkan dengan Malaysia yang hanya berpenduduk 30 juta jiwa tapi cadangan devisanya mencapai US$ 94,6 miliar, Thailand yang punya US$157,56 miliar meski penduduknya 65 juta jiwa, dan Filipina yang punya US$ 80,5 dengan penduduk 102 juta jiwa.

Semua itu tentu saja bertolak belakang dengan keyakinan banyak orang bahwagrounbreaking demi groundbreaking yang telah dilakukan oleh Jokowi otomatis membuat perekonomian kian bugar, bukan memperluas empty ground yang sarat kemiskinan dan pengangguran.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun