Mohon tunggu...
Jonter Sitorus
Jonter Sitorus Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Jonter Pandapotan Sitorus, kelahiran Pematang pao 1 oktober 1986. Mari Kita Berkarya...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru Bahasa Indonesia, Turut Andilkah ?

24 November 2012   05:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:45 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Beberapa hari terakhir begitu banyaknya fenomena anak-anak sekolah yang tawuran. Sebenarnya jika ditelisik lebih jauh, apa sebenarnya yang melandasi peristiwa itu. Dari banyaknya kejadian tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia akhirnya “gerah” sehingga dari fenomena itu kurikulum dijadikan “kambing hitam” dalam proses pembelajaran. Dampak akhirnya, pada tahun ajaran baru (tahun 2013) akan diberlakukan sistem kurikulum yang mengacu pada perkembangan karakter siswa. Sampai hari ini juga pembahasan kurikulum yang didengung-dengungkan masih alot diperbincangkan. Semoga saja penerapannya sesuai dengan harapan nantinya. Namun, yang menjadi persoalannya sekarang adalah apakah dengan adanya perubahan kurikulumyang berkarakter lantas karakter siswa akan dapat dihidupkan kembali? Apakah karakter siswa yang seolah “mati suri” selama ini bisa dibangunkan? Apakah memang demikian? Barangkali semua opini yang beredar di masyarakat sah-sah saja. Namun, sebelum lebih jauh membicarakan persoalan tersebut, penulis mencoba menganalisis bentuk kesalahan tersebut dari sisi pengajaran bahasa. Pertanyaan yang mendasar adalah apakah guru bahasa Indonesia turut andil dalam bentuk-bentuk tawuran yang terjadi?.

Sebelum melihat kaitan antara guru bahasa Indonesia dengan kejadian itu, ada baiknya kita menghubungakan antara penggunaan bahasa dengan sikap atau karakter seseorang. Sudahjelas bahwa bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi dengan orang lain. Secara lebih spesifik lagi bahwa bahasa itu mengandung tiga fungsi, yaitu bahasa berfungsi sebagai bahasa simbolik, bahasa berfungsi sebagai bahasa emotif, dan bahasa sebagai afektif. Sejalan dengan itu,menurut Kneler (dalam Surisumantri, 2005: 175) fungsi simbolik dari bahasa menonjol dalam komunikasi ilmiah, sedangkan fungsi emotif menononjol dalam komunikasi estetik. Sebegitu pentingnya bahasa itu sehingga beberapa pendapat mengatakan bahwa “batas duniaku adalah batas bahasaku”. Terkait ketiga fungsi bahasa itu, tentu ketiganya saling memengaruhi antara satu dengan yang lain. Artinya, ketiga fungsi bahasa itu jika diberikan dengan cara yang salah tentu persepsi si pendengar juga akan salah juga (dalam hal ini para peserta didik). Kembali pada persoalan tawuran. Menurut hemat saya, perbuatan tawuran bisa saja akibat guru bahasa Indonsia turut andil dalam kejadian itu. Namun, turut andilnya guru bahasa indonesia tidak terkait secara langsung, tetapi terkait secara tidak langsung, yaitu dari segi penggunaan bahasa itu sendiri. Mengapa?

Alasannya, guru bahasa Indonesia selama ini saat mengajarkan bahasa Indonesia masih jauh dari yang diharapkan. Artinya, guru masih berusaha mengajarkan bahasa Indonesia sebagai tujuan akhir agar siswa terampil dalam berbahasa bukannya terampil dalam mengetahui skemata bahasa itu sendiri. Dalam penerapanya, saat guru mengajar ada banyak kata-kata yang diucapkan guru yang disalahartikan siswa. Misalnya, ketika guru meminta siswa diskusi kelompok, terkadang kita tidak menyadari perkataan seperti “ ayo jangan sampai kalah dari kelompok yang lain”. Perkataan demikian bisa saja disalahartikan siswa. Kalau dipandang dari segi simbol memang bahasa itu dapat dipahami siswa, tetapi dari segi emotifnya maka akan ada pengertian lain sehingga dalam afektifnya akan berbeda. Kalau pemahaman guru perkataan itu adalah sebagai pemberian motivasi, tetapi bagi siswa motivasi itu akan dijadikan sebagai laga/persaingan antarkelompok. Dengan demikian, stigma yang ada dalam pikiran beberapa siswa akan tertanam kata “persaingan”. Secara tidak langsung kita sudah menanamkan jiwa persaingan ke dalam diri siswa sehingga dampaknya karakter siswa akan terpengaruh atas kata itu.

Kata-kata “Bodoh”, “malas”, “tak punya otak”, “anak bandel” dan mungkin masih banyak kata-kata lain. Semua penggunaan kata-kata itu akan terkonsep dan bisa saja menjadikan siswa itu benar-benar seperti itu. Mengapa tidak kita katakan saja “ayo tetap berikan yang terbaik”, “ya jadilah anak-anak yang cerdas melalui diskusi ini”, dan yang lain-lain. Jadi, sebagai guru bahasa Indonesia, sudah seyogianya kita memerhatikan dan memikirkan kata-kata yang hendak disampaikan kepada para siswa kita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun