Sebelum menuju ke era keemasannya, perempuan di Tiongkok sempat hilang. Fenomena "perempuan yang hilang" pernah menggemparkan Tiongkok. Istilah itu dicetuskan oleh Amartya Sen, seorang pemenang Nobel Ekonomi pada tahun 1998, untuk menyebut perbandingan jenis kelamin populasi yang di mana jumlah laki-laki jauh lebih banyak ketimbang jumlah perempuan. Kemerosotan populasi perempuan diakibatkan oleh kebijakan satu anak yang diterapkan oleh Deng Xiaoping pada 1970an. Awalnya, kebijakan itu dibuat hanya untuk mengendalikan jumlah penduduk dan meningkatkan kualitas modal manusia di Tiongkok. Walau dalam penerapannya terjadi hal yang dramatis sebagaimana diungkapkan Amartya Sen. Tiongkok kehilangan banyak perempuan.
Bagaimanapun kebijakan satu anak memiliki dampak tidak terduga untuk membalikan nasib anak-anak perempuan Tiongkok. Â Salah satu fakta yang jarang disadari, kebijakan ini telah meluncurkan era keemasan bagi perempuan Tiongkok yang hingga saat ini masih ikut serta dalam merubah wajah Tiongkok. Bagaimana mungkin itu terjadi? Lalu seperti apa era keemasan perempuan di Tiongkok? Dan tentunya menarik juga untuk mengetahui bagaimana isu perempuan di Indonesia.
Dominasi Perempuan atas Laki-Laki?
Di Tiongkok, anak perempuan bahkan mendapat akses pendidikan yang lebih baik dibandingkan anak laki-laki. Ini dikonfirmasi oleh beberapa penelitian yang mengkonfirmasi bahwa anak perempuan menerima lebih banyak tahun pendidikan berkat kebijakan satu anak (Huang et al., 2021). Beberapa studi yang cukup menarik menemukan bahwa pengembalian finansial atas pendidikan juga lebih tinggi untuk perempuan daripada laki-laki. Untuk rentang tahun 2000 sampai 2009, para ekonom memperkirakan pengembalian 11-12% per tahun pendidikan untuk perempuan, dibandingkan 6-7% untuk laki-laki (Hannum et al., 2013). Â
Selain fakta kebijakan satu anak mendorong alokasi dana yang lebih besar untuk anak perempuan, ada beberapa dugaan kuat yang menjelaskan mengapa memiliki satu anak dapat memperkecil kesenjangan gender. Salah satunya karena para perempuan sangat dicari--untuk dijadikan istri. Perempuan-perempuan diberi lebih banyak kesempatan untuk terlibat dalam menentukan waktu pernikahan dan pengasuhan anak, yang memungkinkan mereka untuk menunda pilihan-pilihan tersebut (Field & Ambrus, 2008). Dan ketika mereka tidak menikah di usia muda, tahun-tahun pendidikan yang mereka tempuh menjadi lebih berharga. Dengan memiliki sedikit anak juga memberikan kebebasan bagi perempuan untuk tampil di dunia kerja, bahkan dapat kembali ke sana lebih cepat setelah memiliki anak. Semua ini mendorong orang tua untuk berinvestasi lebih pada pendidikan anak perempuan mereka, karena peluang untuk mendapatkan kerja lebih tinggi, bisa bertahan di tempat kerja lebih lama, dan kembali lebih cepat setelah melahirkan (Fong, 2002).
Jin (2023) mengungkapkan, kini banyak anak perempuan juga berkontribusi secara finansial untuk perawatan orang tua mereka, sama seperti anak laki-laki. Menurut konvensi, ketika orang muda menikah, sering kali pria yang bertanggung jawab untuk membeli apartemen, menyiapkan perabotan, dan menanggung semua biaya tersebut. Mengetahui hal ini, memudahkan orang tua mempelai wanita untuk menginvestasikan tabungan mereka pada pendidikan anaknya. Pendidikan yang diterima oleh perempuan berbuah manis dalam meningkatkan peluang mereka untuk berkontestasi di dunia kerja, seperti yang akan dibahas dalam bagian berikut.
Perempuan Dalam Dunia Bisnis dan Arena Politik
 Pemberdayaan perempuan dan penyempitan disparitas gender menjadi salah satu cerita yang menakjubkan dalam setengah abad terakhir. China Stock Market and Accounting Research yang menyediakan informasi mengenai perusahaan yang terdaftar di bursa efek domestik mendapati semakin banyaknya pemimpin di setiap bidang pada perusahaan Tiongkok ditempati oleh perempuan. Data yang dikumpulkan pada tahun 2017 memberikan gambaran singkat tentang para eksekutif perusahaan publik yang didirikan pada tahun 1950-an sejumlah 12% adalah perempuan. Jumlahnya meningkat menjadi 23% di perusahaan angkatan 1970-an, dan masih meningkat menjadi 35% pada perusahaan yang lahir di 1980-an. Angka ini menjadi 42% pada perusahaan yang dibentuk pada 1990-an.
Tren ini juga terjadi di arena politik, yang notabene sangat sulit dimasuki oleh kaum perempuan. Masih menggunakan data set yang sama, 5% perempuan yang lahir pada tahun 1950-an telah menjadi walikota dan sekretaris partai, dan di sisi lain 21% perempuan yang lahir pada 1970-an juga telah melakukannya. Kurang dari 10% dari total keanggotaan Komite Sentral (yang hanya terdiri dari beberapa ratus pemimpin teratas dari Partai Komunis) adalah perempuan. Ada paling sedikit satu perempuan pada Politbiro (hanya terdiri dari 25 pejabat teratas yang mengawasi partai), dan tidak ada sama sekali perempuan di Komite Tetap (hanya terdiri dari 7-9 pemimpin yang paling senior). Mengingat perempuan yang lahir di tahun 1980-an masih berkisar pada usia 40 tahun, yang merupakan usia minimum untuk mengambil peran senior dalam pemerintahan Tiongkok. Kendati demikian, terbuka kemungkinan jika kelak perempuan akan mengisi pimpinan politik pada generasi selanjutnya, sebagaimana yang terjadi di dunia bisnis. Ini karena perempuan dalam dunia politik cenderung memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan rekan laki-laki mereka: 75% perempuan memiliki gelar pascasarjana, dibandingkan 56% pada rekan laki-laki mereka (Jin, 2023).
Keberhasilan kebijakan satu anak (1978-2013) dalam meningkatkan status perempuan di Tiongkok dalam keluarga dan masyarakat mereka mulai mengalami kemunduran. Pelonggaran kebijakan tersebut telah menyebabkan beberapa penurunan status perempuan. Kini pemberi kerja banyak yang khawatir dengan perempuan yang masih berusia subur, terutama mereka yang belum memiliki anak atau baru memiliki satu anak. Kemungkinan bahwa mereka akan mengambil cuti melahirkan dan membutuhkan perlindungan kesehatan untuk persalinan memicu diskriminasi terhadap perempuan. Sayangnya undang-undang di Tiongkok tidak melakukan pekerjaan yang baik untuk melindung kepentingan dan hak-hak perempuan, setidaknya sejauh ini.
Belakangan kerap terjadi kasus-kasus perempuan yang ketika diketahui baru memiliki satu anak tidak akan mendapat kesempatan wawancara kerja di perusahaan terkemuka Tiongkok. Kemungkinan mereka untuk memiliki satu anak lagi dalam beberapa tahun membuat mereka dalam posisi yang sangat merugikan perusahaan, yang barang tentu ini tidak akan terjadi ketika kebijakan satu anak masih berlaku.