Makan siang hari ini adalah nasi dengan Chiki. Kenangan manis, kenangan pahit, terkurung disini.
Chiki adalah makanan ringan favoritku waktu kecil. Bola-bola keju berbubuk nan gurih itu selalu membuatku lupa diri. Kadang jadi sakit batuk ketika makan berlebihan. Papa dan Mama menjadi marah-marah. Waktu itu, Chiki-lah definisi bahagiaku.
Chiki selalu aku beli di pasar dalam pengawasan Mama. Setiap minggu pagi, Mama mengajak kami sekeluarga ke pasar; membeli daging, sayur-mayur, bumbu dapur, dan Chiki dalam jumlah yang sangat sedikit. Mama biasanya mengobrol ceria dengan penjaga toko, sambil mengawasi anak-anaknya dengan seruan: "Nggak boleh banyak-banyak!" Biasanya aku cuma mengambil 2-3 bungkus Chiki; takut dimarahin karena sakit batuk.
Namun, hari itu berbeda. Hari itu aku bisa mengambil Chiki sepuas-puasnya. Mama tak melarang-larang ketika aku ambil banyak, begitu juga dengan kakak-kakakku. Tentu saja kami terlihat senang, kecuali Mama. Mama mengobrol cemas dengan pemilik toko.
Saat itu bulan Mei.
Perbedaan semakin terasa. Mama pergi berlibur dengan kakak-kakak perempuanku ke luar negeri. Tumben juga pikirku padahal bukan hari libur. Jadinya hanya ada laki-laki di rumah: aku, satu kakak laki-laki, dan Papa.
Lagi-lagi ada yang beda. Papa menyuruh kami untuk nggak usah ke sekolah. Katanya, kita bersantai saja di rumah, main aja game Playstation selagi nggak ada Mama. Papa juga nggak ke kantor seperti biasa. Papa memperbaiki kunci-kunci pintu dan memasang gembok sana-sini. Wajah Papa kelihatan tegang, aku senang-senang saja. Kapan lagi bisa main Playstation seharian?
Saat itu bulan Mei.
***
Makan malam tiba. Karena tak ada Mama, Papa membeli makanan rantangan. Nasi, sayur, daging, dan lain-lain tersaji dalam rantang besi. Lauknya tak seenak dan sebanyak masakan Mama, tapi ada yang spesial. Papa membuka sebungkus Chiki. Kami bisa makan Chiki dengan nasi! Wah, aku sangat senang. Dulu sering dilarang Mama, sekarang dibolehin. Papa tersenyum. Kami makan dengan lahap. Papa menyuruh kami makan cepat-cepat.
Malam tiba. Dalam rumah sangat gelap. Papa mematikan semua lampu rumah. Aku terbangun tengah malam, setengah sadar melihat Papa dan kakak masih bangun. Papa terlihat was-was, kakak juga terlihat cemas. Aku mendengar suara orang berteriak-teriak dari luar rumah. Tak terlalu ambil pusing, aku menutup mata dan tidur kembali.