Masih segar dalam ingatanku rambut putihmu saat menuturkan masa-masa rumah kita dikuasai orang asing lebih dari tiga abad. Dari balik kaca matamu engkau seperti menerawang saat desa dan kota kita dikuasai bangsa asing. Engkau tak bisa menjawab pertanyaan anak usia selusin, saat malari itu terjadi: mengapa begitu lama kita dijajah. Kini menjelang sembilan windu usia negeri akupun hanya bisa menduga-duga mengapa kita bisa dijajah begitu lama yakni karena tidak adanya rasa kesatuan dan persatuan.Â
Indonesia diproklamirkan di bulan puasa tanggal tujuh belas tahun empat lima. Tapi menjelang bulan puasa tahun dua ribu tujuh belas ini pula sepertinya rasa kesatuan dan persatuan itu dihadapkan pada ujian berat untuk bisa naik kelas. Kalau lulus, banyak guru yang menduga bahwa Indonesia akan terus melaju menjadi kekuatan ekonomi nomor lima dunia dalam beberapa tahun mendatang. Namun kalau gagal dalam ujian ini, waktu naik kelas itu mungkin akan ditunda dulu.
Sayangnya ujian itu tidak mudah; setiap indidvidu dari dua ratus lima puluh juta penduduk Indonesia harus mengikutinya. Satu orang gagal maka gagal pula ujian itu.  Atau setidaknya kalaupun dinaikkan juga, sesungguhnya itu tidak lagi murni. Mudah-mudahan menjelang usia sembilan windu ini seluruh rakyat Indonesia kembali bersatu padu  belajar keras agar semuanya lulus dalam ujian naik kelas ini. Kalau tidak, bukan saja mimpi menjadi kekuatan ekonomi nomor lima dunia terhambat, tapi bayangan mengerikan karena kembali dikuasai bangsa asing seperti pernah terjadi seblumnya namun dalam bentuk baru bukan mustahil terjadi.
Kini dengan rambut putihku dan di balik kaca mataku, aku berharap negeri ini akan lulus ujian dan bisa naik kelas.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H