[caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="Acara penutupan Festival Internasional "][/caption] Air terjun Iguazu di Argentina yang merupakan air terjun terbesar di dunia, jauh lebih besar dari air terjun Niagara di perbatasan antara AS dan Kanada, dan jauh lebih besar lagi dari air terjun di Afrika sebenarnya sudah mengagumkan. Namun ternyata ada yang lebih menarik yakni kota Iguazu itu mengadakan festival musik tahunan yang mengundang para pemusik dunia namun syaratnya berusia maksimum 18 tahun. Kebetulan tahun 2015 ini ada dua peserta dari Indonesia yang memainkan musik angklung. Festival "Iguazu En Concierto" ini dikenal sebagai festival musik anak-anak non-profit terbesar di dunia (the world’s largest nonprofit music festival for kids). Pertunjukan dilakukan selama seminggu di balai kota dan tiap malam para pengunjung memadati acara karena memang tidak dipungut bayaran. Tentu itu saja telah menimbulkan banyak pertanyaan. Misalnya dari mana dananya untuk membiayai sekitar 600 anak-anak dari sekitar 30 negara itu. Walikota Iguazu menjelaskan bahwa biaya tiket pesawat dari negara masing-masing peserta ke Iguazu ditanggung masing-masing negara. Namun selama di Iguazu mereka diinapkan di sebuah hotel dan setiap hari ada kegiatan mereka. Diadakan juga kunjungan ke air terjun Iguazu dan tempat menarik lainnya. Pagi hingga sore latihan, dan malam pertunjukan. Permainan angklung yang hanya dimainkan dua anak Indonesia selalu memukau penonton setiap malam. Bahkan kedua anak Indonesia itu mendadak menjadi "superstar" karena sering diajak foto bersama oleh para penonton setiap malamnya. Seorang anak dari Amerika Serikat berusia 12 tahun bernama Liam  (dari Cane Mill Road band) memainkan biola dan banjo, namun jiwa kepemimpinannya sudah terlihat. Dia sudah seperti orang dewasa saja ketika memimpin dua anggota lainnya yang lebih tua darinya yakni gadis Kinsey, 16, yang memainkan bass dan bernyanyi, serta Eliot (17) yang memainkan gitar. Bahkan ketika tiga lagu sudah mereka tampilkan maka dengan bahasa Spanyol yang baru dipelajarinya Liam yang mahir memainkan biola dan banjo bertanya kepada sekitar lima ribu penonton apakah masih menginginkan penampilannya lagi dan penonton mengatakan "otra, otra, otra" ( lagi, lagi, lagi) dan mereka memainkan lagu lain lagi. Pada malam penutupan, seluruh anak tampil dan dibuat acara yang sungguh mengagumkan dengan memadukan semua peserta tampil. Tempatnya di hotel Sheraton dan panggung dibuat sedemikian sehingga latar belakang menampilkan air terjun Iguazu yang sesungguhnya berjarak jauh dari hotel itu. Dari sini terlihat bahwa kegiatan yang sudah diadakan selama enam tahun berturut-turut itu juga didukung bebagai pihak seperti Kementerian Pendidikan Argentina, walikota Iguazu, hotel Sheraton, UNESCO, dan banyak perusahaan besar Argentina. Pemusik terkenal Argentina yang tampil sebagai tamu di akhir acara mengatakan apakah Argentina dan dunia punya masa depan? Dia menjawab sendiri dengan mengatakan anak-anak muda itu menunjukkan bahwa kita memiliki budaya, seni, dan pertunjukan yang sangat berharga nilainya dan karena sudah bisa dimankan anak-anak berusia muda. Seorang konduktor muda dari Perancis baru berusia lima tahun namun sudah mahir memainkan biola dan mampu memimpin orkes musik dengan baik. Ah, dari sini muncul angan-angan seandainya anggaran pendidikan yang sangat besar (20 persen dari anggaran nasional (APBN) dan anggaran daerah (APBD)) itu juga digunakan untuk mempelajari seni dan musik seluruh suku di Indonesia, dan disajikan dengan menarik, maka bukan mustahil itu menjadi salah satu cara mempertahankan seni dan budaya kita, dan sekaligus juga menjadi hiburan menarik dan sehat bagi masyarakat. Bukan mustahil pula anak-anak Indonesia bisa hidup dari seni dan musik yang dimiliki negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H