Hal inilah, yang menopang segala narasi pembangunanisme dan agenda lainnya di Papua, dengan asumsi " Mengangkat derajat dan martabat orang Papua". Padahal, ini omong kosong ! yang ada hanya menambah masalah bagi orang Papua, semakin "Terasing di Tanah Sendiri". Terasing dari cerita, sejarah dan pengetahuan. Terasing dari sumber-sumber penghidupan karena eksploitasi sumber daya alam yang masif dan meningkat. Terasing dari sektor ekomoni, dan terasing karena marginalisasi, serta depopulasi orang Papua.
Pertanyaan penting bagi orang Papua, juga Indonesia Papua umumnya, bagaimana keluar dari kondisi seperti ini ? saya berpikir Chinua Achebe versi Papua, telah hadir dalam sosok Dr. Benny Giay, Antropolog I Ngurah Suryawan, Novelis Aprila Wayar, Muridan Satrio Widjojo dan beberapa orang lainnya, yang berupaya meneliti dan menulis tetang Papua, dari sudut pandang orang Papua.Â
Dan kita butuh lebih banyak Chinua Achebe di Papua, yang akan menulis ulang " Cerita tentang Papua'' dalam upaya keseimbangan cerita, terhadap cerita (pengetahuan) dominan -- negara, yang berupaya merendahkan dan menghilangkan masyarakat dan kebudayan Papua, alih-alih menindas dan menyingkirkan orang Papua.
Saya menutup tulisan ini dengan mengajak kita untuk membaca karya Chinua Achebe atau karya tulis lainnya, yang berupaya " Menulis Cerita Tentang Diri Kita" dalam upaya (de)kolonialisasi. Kita harus menulis. Sehingga, kita bisa menghadirkan apa yang Achebe katakan " Keseimbangan Cerita". Tanpa itu, kita (orang Papua) akan terasing di tanah sendiri, tanah Papua.
*Penulis adalah pengajar/dosen di Universitas Nani Bili Nusantara (UNBN) Sorong, Papua Barat Daya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H