Tumbal Nasionalisme di Papua ; Kita Saling Melukai dan Saling Membunuh
Sebagian sejarah manusia selalu mengisahkan kisah-kisah heroik perjuangan kemerdekaan, sekaligus jiwa-jiwa patriot dalam menjaga kedaulatan negara. Salah satu penggerak utama adalah spirit nasionalisme. Orang-orang akan rela melakukan apapun untuk negara mereka,rela mencium bendera (hanya sebuah kain) , rela menangis, bahkan rela mati.
Nasionalisme menuntut pengorbanan. Pelaku/korban dari kedua belah pihak selalu menyebut dirinya Pejuang - Patriot versi mereka masing-masing. Ini konsekuensi jika ingin merdeka dan mau mempertahankan kedaulatan. Kita harus saling melukai, dan membunuh. Sejarah dunia memberi bukti ini bahwa orang mau merdeka (membentuk negara) dan mempertahankan kedaulatan (negara) . Mereka (Manusia) akan rela berjuang,darah tumpah dan bahkan siap mati dengan kebanggaan sebagai pahlawan.
Hal ini yang dilucuti Yuval Noah Hahari bahwa hanya kita Homo Sapiens ( Manusia) yang berjuang sakit dan mati demi sesuatu yang imajinatif - Nasionalisme. Sehingga, kita lupa tidak peduli pada peristiwa faktual bahwa kemanusiaan ; Ada yang sakit, luka bahkan mati. Itu tidak penting !
Sehingga meletakan nasionalisme ( Perjuangan kemerdekaan dan mempertahankan kedaulatan) pada persoalan kemanusiaan kita akan menemukan bahwa tidak ada makna kemanusiaan dalam ruang ini. Yang ada kita hanya menemukan makna dibalik konflik dan kematian dalam kata ; Patriot,Pahlawan dan Pejuang.
Persoalan ini sudah inheren dalam sejarah kehidupan manusia. Coba lihat negara mana yang merdeka tanpa pertumpahan darah ( paling hanya dihitung dengan jari ), coba lihat negara merdeka mana yang rela melepaskan daerah kedaulatan mereka menjadi negara baru ( kecuali kondisi terpaksa). Sehingga, kita musti melihat konflik dalam spirit nasionalisme sebagai tumbal. Tidak ada yang gratis dalam kemerdekaan dan mempertahankan kedaulatan negara. Kita harus saling melukai dan saling membunuh.
Tulisan bertujuan mengajak kita memikirkan kembali kemanusiaan kita, dalam kerangka nasionalisme yang kita dielu-elukan. Apakah nasionalisme harus membutuhkan tumbal, agar ia (nasionalisme ada) ?Â
*Artikel pendek ini merupakan sebuah postingan di Facebook saya (jonny Ricardo Kocu) beberapa tahun lalu, yang dirapikan dan diperbaiki lagi, sehingga dipublikasikan di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H