Sidang perdana DPR dapat menjadi gambaran untuk sidang-sidang berikutnya. Meskipun hati pilu melihat betapa diskusi Taman Kanak-kanak bisa berlangsung lebih tertib, tetapi hanya pasrah yang bisa dilakukan dan itu harus berlangsung selama lima tahun, semoga rakyat dikuatkan oleh Yang Mahakuasa.
Mencengangkan, membuat terkaget-kaget, meski lucu tetapi amat memilukan, ramai tak bermutu. Bagaimana bisa kami rakyat Indonesia salah memilih, dan akan seperti apakah nanti UU yang dapat disusun oleh mereka-mereka ini, UU yang menentukan nasib perjalanan Bangsa dan Rakyat lima tahun sejak hari ini. Dengan seluruh biaya triliunan rupiah untuk menyelenggarakan pileg, hanya seperti inikah mutu yang bisa kita dapatkan?, betul-betul pemborosan. Usul saya pileg ditiadakan, tak usah ada wakil rakyat karena toh memang rakyat tidak pernah terwakili, pileg hanya menghasilkan kerumunan dan sekumpulan nafsu yang duduk bersama di gedung sejuk, tak lebih dari itu.
Sedikit terhibur mengikuti sidang penentuan ketua DPD. Sidang jauh lebih bermutu dari pada sidang penentuan ketua DPR. Lantas terbersit pertanyaan, mengapa orang-orang DPD tampak lebih bermutu dari orang-orang DPR?.
Ternyata jawabannya mudah. Wakil rakyat yang riil itu adalah DPD, sebab benar-benar mewakili rakyat. Perhatikan proses rekrutmen untuk menentukan calon DPD dan calon DPR, sangat jelas terlihat bahwa the real wakil rakyat adalah DPD. Calon DPR adalah calon Parpol dan karena itu mereka wakil Parpol. Jika DPR merasa sebagai wakil rakyat hal itu karena karakter yang munafik. Jika DPR mengatakan sebagai wakil rakyat, itu kebohongan yang sangat transparan.
Sementara calon DPD harus mendaftar sendiri, mengumpulkan sejumlah fotocopy dari rakyat konstituen sebagai bukti dukungan.
Masalahnya, di Senayan hak legislasi dari DPD itu dikebiri habis. Kalau untuk lebih baik, maka hak legislasi DPD harus dibuat lebih banyak dan lebih kuat.
Tetapi itu pasti tidak bisa terjadi sebab tidak seorangpun dari DPR yang menginginkan itu. Tujuan menjadi DPR bukanlah untuk kebaikan bagi rakyat, tetapi kesuksesan bagi nafsu berkuasa.
Selamat Menderita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H