Kalau diperhatikan lebih seksama, ada yang sedikit aneh dari hasil persekolahan kita. Itu adalah bahwa “makin tinggi sekolah yang dilalui, maka makin tidak legowo orang itu”. Saya sebut sebagai hasil persekolahan, itu karena antara pendidikan dan persekolahan tidaklah persis sebangun atau setangkup.
Tampaknya semakin tinggi sekolah yang dilalui, semakin percaya dirilah orang itu. Sesungguhnya percaya diri itu adalah hal bagus dan perlu, hanya saja kepercayaan diri berbatasan setipis rambut dengan kesombongan dan keras kepala. Masalahnya terletak di situ.
Bapak M Nuh (Menteri Pendidikan) pada saat pengukuhan Jakob Oetama mengatakan begini : “Saya sering kali terbahak mendengar para ahli saat mengomentari suatu fenomena. Itu karena mereka memberikan komentar hanya berdasarkan pola pikir merke sendiri, tetapi melupakan logika dari fenomena itu sendiri. Maka antara fenomena dan komentar lebih sering tidak nyambung”.
Kalau anda sering menonton TV terutama tentang komentar politik, atau membaca berita dan komentar politik di harian surat kabar, akan mudah juga sampai ke kesimpulan seperti di atas, bahwa makin tinggi persekolahan orang, makin tidak legowolah orang itu.
Mudah melihat bagaimana orang bertahan pada pendapatnya, dengan segala argumentasi yang masuk akal bahkan jika perlu argumentasi tak berlogika yang disampaikan dengan suara keras dan mimik mata melotot.
Salah satu contoh adalah tentang pilpres. Rakyat yang tak bersekolah itu bersama-sama kini telah kembali ke sawah, ke ladang, ke laut, ke pasar. Mereka begitu karena paham bahwa putusan MK tentang sengketa pilpres adalah mutlak. Mereka mahfum bahwa tidak ada lagi yang perlu dilakukan selain menerima bahwa pada 2014 – 2019 negeri ini akan dipimpin orang deso bernama Jokowi. Tetapi orang-orang bersekolah tinggi yang menggabungkan diri ke dalam kelompok KMP tidaklah mengambil sikap seperti itu. Justru karena itu terlihatlah kehebatan dari rakyat yang bersekolah paling banter tamat SD, atau drop-out dari SMP.
Rakyat yang tidak bersekolah juga paham bahwa putusan kasasi MA adalah putusan tertinggi yang hanya bisa dibatalkan oleh Tuhan, tetapi Bupati yang bersekolah sangat tinggi itu tidaklah begitu. Dengan bangga dan dada membusung dia menantang eksekusi MA.
Banyak sekali contoh, sangat banyak. Bahwa makin tinggi persekolahan, maka makin tidak bisa legowo orang itu.
Tampaknya sistem persekolahan kita membuat orang-orang mudah menyeberangi perbatasan yang setipis rambut antara percaya diri dan keras kepala. Atau bahkan sistem persekolahan kita justru membuat orang melompat dari kebodohan langsung menuju keras kepala tanpa melalui percaya diri.
Normalnya, makin tinggi persekolahan maka makin banyaklah membaca. Makin banyak membaca seharusnya membuat orang-orang menjadi semakin bijaksana. Tetapi sistem persekolahan kita tidak begitu, atau bahkan mungkin kebalikannya.
Orang bersekolah tinggi itu begini :”orang yang tidak mau menerima pendapatku adalah orang yang keras kepala. Aku tidak menerima pendapat orang, itu karena aku percaya diri bahwa aku pasti benar”.
Perasaan pasti benar adalah kematian dari “kebijaksanaan”. Itu karena di Indonesia ini hanya ada dua jenis universitas, yaitu Universitas Negeri milik Negara dan Universitas Swasta milik seseorang atau sesuatu.
Di sini tidak ada :”UNIVERSITAS KEHIDUPAN”, dan karena itu tidak ada KEBIJAKSANAAN.
Hantu keras kepala gentayangan di setiap gedung sekolah, tampaknya begitu. Semoga saja saya salah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H