Mohon tunggu...
Jonny Hutahaean
Jonny Hutahaean Mohon Tunggu... Wiraswasta - tinggi badan 178 cm, berat badan 80 kg

Sarjana Strata 1, hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Paradigma Pendidikan yang Salah

8 Mei 2014   00:50 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:45 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pada harian KOMPAS terbitan hari ini, 02 Mei 2014, terdapat tulisan tentang “Pendidikan”, dan iklan tentang “Perguruan Tinggi Swasta”. Antara tulisan dan iklan terdapat korelasi paradigma yang erat binti akrab, keduanya menilai out-put pendidikan dari daya saing kerja. Iklan PTS mengandalkan informasi betapa lulusannya sangat diminati banyak perusahaan, sementara tulisan menekankan ketidaksiapan pendidikan kita untuk bersaing secara global.

Saya pikir kedua-duanya mereduksi makna dari pendidikan itu sendiri dari “nilai guna” menjadi “nilai ekonomi”. Posisi, jabatan, gaji, dan faktor ekonomi lainnya menjadi ukuran dari kesuksesan pendidikan. Maka menjadi guru bukan pilihan profesi yang menarik karena bernilai ekonomi rendah, dan menjadi dokter sangat menarik karena bernilai ekonomi tinggi. Begitu sepinya minat menjadi guru, maka bagi PTS (Perguruan Tinggi Swasta) menjadi tidak ekonomis dan karena itu tidak berminat untuk membuka jurusan kependidikan. Tetapi semua PTS berlomba membuka jurusan Kedokteran, Hukum, dan akuntansi.

“Do not try to be a man of success, rather than try to be a man of value”, begitu kata Albert Einstein. Jelas sekali bahwa bangsa Indonesia, terutama para pemangku pendidikan, menganut paradigma yang berlawanan arah dengan Einstein.

Kalau pepatah Jerman menyebutkan begini “pendidikan adalah apa yang tersisa setelah semua pelajaran kau lupakan”. Mungkin begini maksudnya, bahwa pengetahuanmu yang tinggi tentang ilmu agama tidaklah menjadi ukuran keimananmu, atau jika engkau menghafal semua ilmu tentang etika tidak lantas membuat engkau menjadi manusia yang beradab, dan tingginya ilmu manajemen tidak lantas membuatmu menjadi manajer yang hebat, ilmu kedisplinan yang tinggi tidak lantas membuatmu menjadi manusia yang berdisplin aduhai.

Lantas saya menyimpulkan bahwa menetapkan tujuan pendidikan untuk meningkatkan daya saing adalah kesalahan yang perlu diluruskan. Pendidikan yang ditujukan untuk meningkatkan nilai ekonomi (dalam hal ini berarti kesejahteraan diri) adalah paradigma sempit dan semprul, akan mengarahkan manusia Indonesia menjadi dan sebagai pekerja untuk kebutuhan investor terutama yang asing.

Pendidikan itu adalah tentang keseluruhan kehidupan, semua segi di semua waktu. Itu sebabnya disebut "long life education". Pada saat tertentu, misalnya saat berakhir pekan, lupakan tentang pekerjaan anda atau bahkan lupakan tentang perusahaan anda. Tetapi jangan pernah melupakan "pendidikan anda". Penyu yang merayap menuju laut adalah bagian dari pendidikan, semut yang berbaris di dahan adalah bagian dari pendidikan, ombak yang pecah menabrak batu adalah bagian dari pendidikan, itu saat anda berakhir pekan di tepi pantai.

Maka saya sebutkan begini, adalah salah jika pekerjaanmu atau perusahaanmu selalu kau bawa ke segala atau seluruh peri kehidupanmu. Ada saatnya kau harus menjadi ayah bagi pangeran kecilmu atau buat putri mungilmu, dan menjadi suami untuk istrimu. Tetapi tidak demikian halnya tentang pendidikan, harus selalu melekat di dalam diri, any time and place.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun