Perhatikan dengan seksama akun-akun di media sosial, akun yang bertitik fokus untuk menyebarkan berita hoaks dan untuk membangkitkan amarah dan kebencian pihak lain, kuantitasnya bejibun, luarbiasa. Ada beberapa ciri akun penyebar hoaks dan penyiar kebencian ini :
‘1. Pemilik akun memiliki perbendaharaan kosa kata yang sangat memadai, perbendaharaan tentang istilah-istilah keren yang lumayan, dan bahkan mampu mengutip dengan sangat tepat, ayat-ayat dari kitab suci yang manapun itu, yang dengan sangat jitu dipilih agar sesuai dan mendukung kabar hoaks yang hendak disampaikan, dipilih dengan sangat tepat untuk memperkokoh argumen dalam menyebarkan kebencian dan ketakutan. Orang yang kurang cermat pasti mudah terhasut.
‘2. Pemilik akun tampaknya memahami ilmu psikologi massa, memahami dengan tepat faktor-faktor yang dapat meyentuh sensitivitas simpul saraf massa.
‘3. Pemilik akun tampaknya dengan cermat mengikuti perkembangan situasi sosial masyarakat, paham kapan momentum yang paling tepat melepas tulisan hoaks ke media sosial, agar dapat dengan mudah tersebar luas dan mendapat respon yang banyak dari pemirsa.
‘4. Pemilik akun, secara ekonomi pasti masuk kelompok sejahtera. Punya gawai, laptop, mampu membayar pulsa, punya waktu senggang.
‘5. Pemilik akun, pasti orang yang memiliki keterampilan IT. Mampu merekayasa foto, memadukan dua foto yang terpisah oleh jarak dan waktu ke dalam satu bingkai sehingga tampak nyata bagi mata yang kurang cermat.
Kelima ciri di atas membuat saya merasa sah menarik kesimpulan sementara sebagai berikut :
“Akun-akun hoaks yang bertujuan untuk membenturkan masyarakat, mengacaukan tatanan sosial, memecah keutuhan persatuan NKRI, membangkitkan konflik SARA, meruntuhkan legitimasi pemerintah yang sah, akun itu dibuat dan disetting oleh orang yang berpendidikan (bersekolah tinggi, punya keterampilan, dan memiliki kehidupan yang sejahtera binti makmur”.
Maka dengan itu, saya harus menyingkirkan adagium umum yang selalu didengung-dengungkan politisi, bahwa akar dari radikalisme, atau sumber konflik, adalah “kemiskinan dan kurangnya (keterbelakangan) pendidikan”. Sesaat setelah adagium tersebut saya singkirkan, serta merta saya menjadi sangat mudah memahami mengapa kehidupan di desa-desa bisa berlangsung persis seperti yang dicantumkan pada sila-sila Pancasila.
Kalau begitu apa tepatnya akar dari radikalisme itu?, jawaban sementara dari saya adalah :”salah asuhan, salah didik”. Apapun bisa menjadi sumber radikalisme, jika salah menafsirkan dan memahami, lalu tafsir yang salah itu dikhotbahkan dan diajarkan, disebarluaskan lalu dikristyalkan menjadi sebuah dogma. Karena hanya orang-orang berilmu yang memiliki kemampuan menafsirkan, makin jelaslah bagi saya bahwa pintu pertama mengalirnya bibit paham radikalis justru adalah orang-orang berpendidikan, berkemampuan ekonomis, terampil mengorganisir, dan terutama memiliki hasrat dan nafsu yang tidak terbatas terhadap akumulasi kekuasaan dan kekayaan.
Nah, kini saya tiba pada kesimpulan lain. Dalam mencegah meluasnya paham radikalisme yang mengancam keutuhan NKRI, “pemerintah salah fokus”. Memandang “kaum marjinal, kemiskinan, kaum tidak terdidik sebagai lahan subur tumbuhnya radikalisme” adalah sebuah kesalahan. Mungkin paham radikalisme mudah tumbuh dan subur pada kaum-kaum marginal ini, tetapi bibit-bibit radikalsime tidak berasal dari sana, tetapi berasal dari tempat lain dan dari kaum lain.