Meski sulit untuk memahami mengapa Tuhan Allah harus membagi manusia menjadi dua kaum, yaitu kaum Allah dan kaum kafir, tetapi baiklah, bukan tentang mengapa begitu dan untuk apa seperti itu yang hendak dibahas. Mari kita terima lebih dahulu, memang begitu adanya.
Berkat Allah itu ada yang “given”, ya memang sudah seperti itu, berkat yang diberikan ke semua manusia tanpa perkecualian. Sinar Matahari, angin atau udara, laut, sungai, hutan, gunung, tanaman, bahan tambang, tanah, langit, dan sebagainya, semua itu adalah berkat yang given, diberikan kepada semua kaum, ke kaum Allah dan juga ke kaum kafir. Tetapi, tidak semua manusia memiliki kemampuan yang sama dalam memanfaatkan berkat yang given itu. Kemampuan untuk mengolah dan memanfaatkan berkat yang given itulah yang membedakan mengapa ada kaum sejahtera dan mengapa ada kaum melarat. Dalam hal ini, apakah Tuhan Allah membagi manusia menjadi dua kaum, kaum yang “diberkati dengan kemampuan” dan kaum yang “tidak diberkati dengan kemampuan”?.
Pendapat saya mengatakan tidak. Tuhan Allah membuka pintu untuk semua orang, tetapi manusia harus memasukinya sendiri. Jika sinar matahari adalah berkat yang sudah given, “Kemampuan” adalah berkat yang taken, berkat yang harus diambil.
Sinar matahari, berkat yang bersifat given itu, sebagian manusia melihat dan merasakannya sebagai masalah. Panas dan gerah, keringat, dan menaikkan biaya untuk pendingin ruangan. Sebagian manusia melihatnya sebagai berkat seupil karena hanya berguna untuk mengeringkan jemuran pakaian maupun padi. Sebagian yang lain melihatnya sebagai pahala berkat, dan menjadikan sinar matahari menjadi bisnis prawisata yang gemuk. Sebagian lagi melihat sinar matahari sebagi berkat yang melimpah dan mengubahnya menjadi sumber energi listrik.
Bukankah minyak itu, berkat yang given, seharusnya menjadi anugrah?. Betul, tetapi itu juga bisa menjadi kutukan. Tuhan Allah memberikan berkat, ketidakmampuan manusia menyebabkan berkat itu menjadi kutukan. Minyak yang melimpah seharusnya membuat rakyat Timur Tengah makmur sejahtera binti sentosa, tetapi kini sangat banyak dari mereka yang terusir menjadi pengungsi, dan mencari perlindungan ke negeri kafir. Minyak itu adalah berkat yang given, ketidakmampuan manusia mengubah berkat menjadi kutukan, paling tidak bagi orang yang terpaksa mengungsi.
Sebagian manusia melihat laut sebagai jurang yang memisahkan benua, sebagian lagi justru memandang dan memanfaatkan laut sebagai yang mempersatukan dua benua. Sumatera dan Jawa dipisahkan oleh Selat Sunda, kata sebagian orang. Sumatera dan Jawa disatukan oleh Selat Sunda, kata sebagaian yang lain. Laut dan Selat Sunda adalah berkat dari Tuhan Allah yang given, manusia melihatnya dengan cara yang berbeda.
Sebagian orang menggunakan sungai sekedar pembuangan segala hal yang tidak berguna, dan karena itu menjadi sarana penampungan semua limbah, sungai menjadi sumber penderitaan. Sementara sebagian yang lain memandang sungai sebagai aliran kehidupan, dan karena itu sungai dijaga dan dirawat, dan bisa menjadi sumber kemakmuran. Sungai itu adalah berkat dari Tuhan Allah yang given, manusia melihatnya dengan cara yang berlawanan.
Karena pengakuan adalah baik bagi jiwa, mari kita menyadari dan mengakui, bahwa manusia yang memiliki kemampuan untuk mengolah berkat yang given itu, menjadi berkat yang bernilai tambah, mayoritas mereka berasal dari kaum kafir. Apakah Tuhan Allah memberikan berkat “kemampuan” itu hanya pada kaum kafir?, sama sekali tidak. Tuhan Allah membukakan pintu rumah pengetahuanNya kepada semua orang, orang-orang yang masuk ke rumah pengetahuan itulah yang akan mendapat berkat ilmu pengetahuan.
Jika pengetahuan itu lebih banyak dimiliki kaum kafir, bukan karena kaum kafir itu lebih dikasihi Tuhan Allah, semata-mata hanya karena kaum kafir itu berusaha lebih keras untuk memasuki rumah pengetahuan yang pintunya dibukakan untuk semua orang. Kebanyakan manusia hanya berdoa sekeras-kerasnya di depan pintuNya, tidak melangkahkan kaki ke dalam rumah pengetahuan yang disediakanNya, dengan pintu yang tidak pernah ditutup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H