Tiga kasus yang berurutan: uang palsu, vaksin palsu, kartu BPJS palsu. Sudah cukup menjadi data pemicu agar kita, terutama para orang yang mendaku diri dengan gelar ahli genetika sosial. Ini menjadi kajian menarik.
Ketiga kasus itu kalau disatukan dalam satu frasa kalimat menjadi begini, bapak itu membawa anaknya ke RS memakai kartu BPJS palsu, karena vaksin di RS itu diluar tanggungang BPJS maka bapak itu membayar dengan uang palsu, sayang bapak itu tidak tahu bahwa vaksin yang disuntikkan ke pantat anaknya itu vaksin palsu. Aktifitas ekonomi berlangsung penuh kepalsuan.
Dalam waktu yang tidak begitu lama, kemungkinan besar akan muncul pemalsuan gigi palsu, bayangkan.
Pada mulanya saya percaya bahwa pemalsuan itu didorong oleh hasrat dan nafsu memperoleh untung besar dengan cara yang seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya, itu kemaren. Kini saya curiga bahwa itu bukan dorongan hasrat akan untung, tetapi memang sudah tertanam di dalam gen. Meski kesimpulan itu sebatas kecurigaan dan bersifat temporer, tetapi kejadian pemalsuan itu memang mengherankan.
Oli palsu, madu palsu, bahan bakar oplosan (berarti palsu), bakso palsu (mengandung borax), tahu palsu (mengandung formalin), beras biji plastik (berarti palsu), polisi gadungan (palsu), tentara gadungan (palsu), politikus palsu, anggota DPR yang tidur saat sidang (berarti palsu), anggota DPR yang menonton video porno saat sidang (berarti palsu), ijazah sarjana dan pasca sarjana palsu,…. Daftar akan sangat panjang.
Tengok daftar itu, padahal itu belum semua. Bidang energy, pendidikan, keuangan, kesehatan dan pangan, semua bidang itu sudah disusupi pemalsuan, bah.
Kejadian terakhir di Sumatera Utara, sebuah Ormas menutup paksa restoran yang menjual BPK (Babi Panggang Karo) dengan alasan agama, alasan palsu. Agama apapun pasti tidak mengijinkan pemaksaan, pasti melarang tirani.
Kini saya fikus melihat dan mengamati apakah semua kasus pemalsuan ini diselesaikan dengan “penyelesaian palsu”. Penyelesaian palsu itu adalah penyelesaian seolah-olah, diberitakan tuntas, tetapi sesunguhnya tidak.
Tetapi jangan terlalu serius menanggapi tulisan ini, sebab ini tulisan palsu.
What Next?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H