Kurikulum hanya sebuah sekrup kecil pada roda pendidikan, yang paling utama adalah semua harus menjadi pemicu.
Saat sidang ilmiah di suatu kampus ternama, seorang dosen penguji mengajukan pertanyaan tentang bagaimana mengukur ketinggian gedung apartemen bertingkat dengan menggunakan barometer (alat pengukur tekanan udara).
Ikat barometer di ujung tali lalu naiklah ke atap gedung. Julurkan tali sampai ujung terbawah barometer menyentuh tanah. Tinggi gedung itu adalah panjang tali ditambahkan dengan panjang barometer, jawab mahasiswa.
Jawaban yang membuat semua dosen penguji melotot dan merasa terhina.
Baiklah, lanjut mahasiswa itu. Panjat gedung itu sambil menghitung berapa kali panjang barometer sampai ke paling atas. Berapa kalinya itu tadi dikalikan dengan panjang barometer, adalah tinggi gedung itu.
Semua dosen penguji makin melotot, dan terutama makin merasa terhina.
Okelah, kalau cara itu terlalu sulit. Saya akan mengetuk pintu rumah ibu pengelola apartemen itu dan berkata : saya hadiahkan barometer cantik ini ke ibu jika ibu memberitahukan ke saya berapa meter tinggi gedung apartemen ini. Cara ini jauh lebih sederhana.
Ini mahasiswa gila kali ya, atau mahasiswa yang sama sekali tidak paham konsep fisika yang paling dasarpun.
Baiklah, saya akan mengukur tekanan udara di lantai dasar, naik ke lantai teratas dan mengukur tekanan udara di sana. Selisih tekanan di kedua lantai itu dapat saya gunakan mengukur tinggi gedung apartemen sialan itu. Kalau hanya itu jawaban yang memuaskan anda semua.
Mahasiswa itu adalah Niels Bohr, salah satu peletak dasar ilmu fisika kuantum. Suatu cabang di fisika yang manfaat teknologisnya saat ini begitu kita nikmati.
Dosen lainnya menjuluki salah seorang mahasiswanya sebagai “anjing pemalas”, dan anjing pemalas itu adalah Albert Einstein. Manusia inilah yang mengubah paradigma tentang waktu yang meruntuhkan paradigma kemutlakan waktu, dan membongkar paradigma tentang ruang.
Panel penguji di Perancis memberikan nilai kelulusan terendah ke seorang mahasiswa. Karya ilmiah mahasiswa ini dianggap terlalu spekulatif dan kurang memiliki landasan teoritis. Mahasiswa itu namanya de-Broglie.
Salah seorang yang pernah menjabat sebagai ketua Royal Society (lembaga ilmu pengetahuan yang sangat bergengsi di Inggris) adalah orang yang mengumpulkan dan mengasah pengetahuannya saat bekerja sebagai tenaga penjilid di perusahaan penerbitan, dia tidak pernah mengenyam kehidupan kampus. Namanya Michael Faraday.
Setiap orang yang belajar sedikit saja ilmu fisika, pasti mengetahui nama-nama tersebut di atas. Dan yang paling pasti, bukan kurikulum yang menghasilkan orang-orang seperti ini. Lantas apa?
Ada pemicu, trigger.
Dan sebagai apapun kita, sebagai orangtua, sebagai guru, sebagai pembimbing, sebagai kakak, kita hanya berperan sebagai pemicu kepada anak-anak kita. Apakah itu anak kandung, anak tiri, anak pungut, anak asuh, anak didik (murid), sekali lagi berperanlah hanya sebagai pemicu, tidak lebih dan tidak kurang. Lebih dari itu, anda menjadi penghambat yang mematikan kreatifitas anak. Pistol hanya sebuah pemicu, peluru akan bergerak sendiri menuju sasarannya.
Karikatur-karikatur menggambarkan orang yang mendapatkan ide cemerlang dengan lampu pijar yang menyala di kepalanya. Penggambaran yang sangat tepat dan sangat jitu. Orangtua, guru, kakak, kakek-nenek, hanya perlu membantu anak menemukan titik pijarnya, dan sekaligus itulah titik picunya. Setiap anak murid yang sudah menemukan titik pijarnya dan tiba pada titik picunya, akan melesat sendiri menuju sasaran hidupnya di angkasa. Itulah momen mereka berpotensi akan menjadi Niels Bohr, atau menjadi Albert Einstein, atau menjadi de-Broglie, atau menjadi Michael Faraday.
Anda lihat, sederhana bukan? Di kesederhanaan itu ada kerumitan psikologis yang sangat berat diurai, itu tentang kesombongan orang dewasa.
Pria bersenggama dengan wanita, wanita melahirkan anak, menyusui dan membesarkannya. Bersama-sama mereka suami-istri membanting tulang membesarkan anak, lantas apakah rela menjadi hanya sekedar pemicu terhadap anak?
Orang bersekolah, membanting tulang dan belajar keras, ikut seleksi PNS untuk menjadi guru, apakah rela hanya menjadi sekedar pemicu bagi murid?
Orang-orang yang merasa sudah sangat banyak makan asam-garam kehidupan, apakah rela hanya menjadi sekedar pemicu?
Perasaan lebih berpengalaman, perasaan lebih mengetahui, perasaan lebih banyak makan asam-garam, perasaan lebih hebat, menyebabkan kita merasa berhak menanamkan keinginan kita sendiri ke anak-anak dan melupakan apa keinginan mereka yang sesungguhnya.
Pada hal untuk menjadi pemicu itu diperlukan keterampilan hidup dan kecerdasan emosional (EQ) tingkat tinggi.
Masa kini, kita semua dan termasuk pemerintah (melalui kurikulum) adalah “pengerangkeng”. Semua anak murid kita penjarakan dengan dalih mulia, karena cinta dan sayang, demi masa depan mereka, dan dalih-dalih lainnya yang terdengar begitu mulia.
Sebelum terlambat, mari mengubah diri cukup hanya menjadi “trigger”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H