Banyak yang berpikir bahwa “kediktatoran” adalah menumpuknya kekuasaan di tangan satu orang. Pikiran itu betul dan benar jika yang kita lihat hanya kediktatoran di masa yang sudah sangat lampau.
Pernah ada suatu masa dimana yang memegang kuasa kediktatoran itu bukan dari pemerintah tetapi dipegang oleh pemilik uang yang sangat banyak sekali, kita sebut konglomerat. Di masa itu, orang pemerintah hanya sebagai perpanjangan tangan kaum konglomerasi, sekaligus sebagai bumper pengaman dari serangan pihak lain. Tampaknya hingga kinipun kediktatoran jenis seperti ini makin eksis dan menggurita. Ketika polisi menembaki rakyat yang berdemonstrasi karena tanah ulayat hak milik mereka hendak diambil korporasi perkebunan, di situ polisi dan jenderal polisi yang menjadi komandan hanya boneka sirkus yang dikendalikan pemilik modal korporasi tadi. Jenderal polisi itu sama tidak berdayanya dengan rakyat yang tertembak itu, duh.
Kini Indonesia sedang menciptakan kediktatoran jenis yang baru dan paling canggih. Semoga kita menjadi Negara pertama di dunia yang tercatat sebagai penemu kediktatoran jenis terbaru ini. Sudah sangat lama tidak ada dari kita yang tercatat sebagai pelopor pengembangan peradaban, jadi wajar kalau kerinduan itu terbersit di dalam diri.
Sedang tercipta “kediktatoran parlementer”. Langkah pertama adalah menguasai suara mayoritas mutlak di parlemen, dan itu memberikan kekuasaan sangat besar untuk mengendalikan semua hal.
Mari kita susun UU agar presiden dipilih oleh DPR, mari kita susun UU agar masa jabatan DPR adalah seratus tahun kecuali kalau kematian menjemput, mari kita susun UU agar ijin pertambangan dan perkebunan harus melalui persetujuan DPR, mari kita susun UU agar KPK dan MK bubar, mari kita susun UU agar anggota DPR memiliki kekebalan hokum tak terbatas, mari kita susun UU agar Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Agung, ketua BPK, Panglima TNI, Kapolri, Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, Lurah, Kepala Desa, kepala sekolah, semuanya dipilih oleh DPR/DPRD.
Mari kita susun UU agar semua Dirut BUMN dipilih oleh DPR.
Anda bilang itu tidak masuk akal dan tidak mungkin, dengan kekuasaan membuat UU dan jumlah suara mayoritas mutlak di DPR/DPRD, segala hal menjadi mungkin. Kita hidup bernegara kan harus berpedoman pada UU.
Masa sih hal itu bisa terjadi, apakah mereka sudah tidak memiliki hati nurani, dan lagi pula rakyat pasti akan marah.
Soal hati nurani kita sudah tahu bahwa hati nurani sudah lama menjadi barang sangat langka. Kalau tentang rakyat yang marah, kami dipilih rakyat dan karena itu kami adalah wujud kehendak rakyat. Mereka selalu mengatakan begitu.
Lantas apa yang membuat segala hal di atas menjadi tidak mungkin?. TIDAK ADA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H