Sebuah Foto di harian KOMPAS, terbitan Jumat, 02 Mei 2014, halaman 26. Foto tentang keadaan Jl. Jenderal Sudirman tanggal 01 Mei, saat “Hari Buruh”. Foto itu bercerita tentang sangat banyak hal, menurut benak dan pikiran saya.
Pertama : Tentang “Hari Buruh” itu sendiri. Banyak orang yang gembira atas keputusan menetapkan satu hari dalam setahun sebagai hari buruh, dan lebih gembira lagi karena hari buruh menjadi hari libur nasional. Tetapi dengan menelisik lebih dalam, saya justru sedih atas ketetapan tersebut. Hari buruh berubah menjadi hari yang istimewa dimana buruh dapat melakukan apa saja di antaranya memacetkan total jalan raya umum seperti yang terlihat pada foto tersebut. Itulah hari istimewa para buruh dapat menyuarakan apa saja, atau meneriakkan apa saja, masuk akal atau tidak bukanlah persoalan.
Tetapi kesedihan paling mendalam adalah karena “hari buruh” sebenarnya secara tersamar adalah hari pengakuan bahwa terdapat kelas-kelas di dalam masyarakat, di antaranya ya itu tadi, “kelas buruh”. Istilah “buruh” saja sudah mengandung makna negatif seperti tingkat pendidikan yang tidak memadai (dosen tidak pernah mengaku diri sebagai buruh), dan keterampilan kurang (yang terampil menyebut diri dengan istilah keren “pekerja spesialis”). Hanya kalangan yang tertindas dan teraniaya yang memerlukan sebuah hari sebagai monumen. Itu sebabnya tidak pernah ada hari pengusaha, hari direktur, hari orang kaya, hari bupati, sebab semua mereka bukan kalangan tertindas. “Hari Buruh” adalah siaran akan ketertindasan. Sedih …..
Foto tersebut juga menceritakan suatu kondisi negeri ini, yaitu kondisi yang selalu ekstrim. Sisi kiri jalan mengalami kemacetan ekstrim, bersamaan dengan itu kesepian yang ekstrim di sisi kanan jalan. Kesenjangan ekstrim yang hanya dibatasi tembok kecil. Bukankah memang begitu?, rasio gini yang sudah mencapai 0,43 adalah parameter baik untuk menunjukkan kesenjangan yang menuju keekstriman. Semakin sedikit manusia yang makin kaya menuju hiper ultra kaya, semakin banyak yang menuju kelaparan ekstrim. Di jalan yang sepi itu, sebuah gerobak pedagang kaki lima kesepian menanti pembeli, dan hanya beberapa meter diseberang terjadi keramaian yang membuat lalu lintas macet total. Pengunjung hypermarket berjubel, di seberang jalan pedagang kaki lima kesepianmenanti pembeli yang kesasar. Gambaran sempurna akan ketertindasan pedagang kecil. Ijin untuk membuka hiper market itu sangat mudah dan merambah sampai ke kota kecil, dampak globalisasi.
Di foto itu, Jenderal Sudirman (meski hanya sebuah patung, hanya di dalam foto pula), tegak berdiri dengan sikap sempurna menghormat segala dan semua hal, metro mini, bis kota, gedung pencakar langit, supir baja, dan bahkan hormat pada kesepian ekstrim di kiri jalan. Beliau menaruh menghormat ke seluruh negeri, ke pada semua rakyat dan pada semua strata. Sayang hanya beliau yang seperti itu. Nun jauh di depan, patung Sudirman menghadap ke istana, menjadi pertanyaan apakah di sana masih ada orang, walau hanya satu orang saja, yang masih menaruh hormat ke rakyat kecil, yang masih menaruh hormat ke supir baja, ke pedagang asongan, ke kesepian ekstrim, ke supir bis kota?.
Sementara patung Sudirman siang-malam, saat panas-dingin, dengan setia menghormat ke istana, tetapi adakah ada orang di istana yang masih mengingat dan menghormati semangat juang dan kecintaan Sudirman kepada Negara ini?. Meragukan.
FOTO YANG BERCERITA TENTANG BANYAK HAL. FOTO YANG MENGUNDANG KITA UNTUK BERTANYA, “apakah masih akan lahir seorang jenderal Sudirman?”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H