Jika cerita yang memamerkan kedunguan dapat menghasilkan banyak uang, lantas untuk apa menyiksa diri berpikir memeras otak untuk menghasilkan cerita cerdas?. Itu menjadi prinsip dasar dalam membuat cerita sinetron Indonesia. Penokohan dan jalinan cerita sinetron Indonesia sunguh sangat menyebalkan, tak bermutu dan tak bermoral, terutama tak berakal. Tentu saja ada beberapa pengecualian, sangat sedikit.
Jika iklan tak bermutu atau malah sangat dungu, nyata-nyata dapat meningkatkan omset penjualan produk, lantas mengapa harus merancang iklan cerdas, sebab iklan cerdas itu sulit dan mahal. Itu prinsip iklan buatan Indonesia. Contohnya, “singkirkan buah jeruk dan minum nutrisari”, itu kata iklan Joshua. Atau, minum extrajoss maka anda dapat melompat melintasi gedung 3 lantai. Tentu saja ada beberapa iklan yang baik yang memberikan informasi tentang produk yang diiklankan, selebihnya adalah iklan penipuan dan iklan sampah sumpah serapah. Dibalut wajah ceria, dan dengan enteng tanpa dosa, Titiek Puspa menyarankan anda untuk meminum krating daeng minimal 3 kali sehari. Iklan itu tak pernah menyebutkan kandungan zat additif di dalam krating daeng yang bersifat memicu kerja jantung, yaitu nikotin. Belilah sebotol krating daeng, kau perlu memicingkan mata sekeras-kerasnya untuk dapat membaca konten zat kandungannya, karena ditulis sangat kecil.
Rokok Djarum menayangkan surfing keliling nusantara, memang indah dan menggoda. Tapi entah apa kaitannya dengan rokok, sungguh sangat tidak jelas. Ternyata maksud iklan itu begini : “merokoklah sebanyak-banyaknya, agar saya sebagai pemilik perusahaan rokok mendapatkan laba uang yang banyak sehingga saya dapat surfing keliling nusantara, nanti foto-foto atau video perjalanannya saya tayangkan lagi di TV. Kalau paru-parumu menjadi bolong dan lengket, ah itu urusanmu sendiri. Jika kau warga DKI, gunakan JKS-mu”. Banyak yang tergoda iklan itu termasuk saya. Maka, orang terkaya di negeri ini adalah pengusaha rokok.
Stasiun TV tidak ada yang peduli. Siaran yang konyol, pembodohan dan penipuan melalui iklan, siaran kekejaman dan kekejian, siaran perselingkuhan para pesohor, menjadi santapan empuk stasiun TV, hanya demi satu alasan yang mereka jadikan tuhan, itulah “RATING”. Rating tinggi berarti iklan yang banyak, selanjutnya uang yang banyak. Edukasi adalah nomor terakhir.
Maka dari itu, banyak artis sinetron yang berpihak ke Capres nomor 1. Revolusi mental yang diusung capres nomor 2 dapat saja menyebabkan pemasukan artis-artis ini melorot sangat tajam, menghilangkan gaya hidup hedonis yang sudah terlanjur menjadi kebiasaan. Bayangkan, jika publik tersadar atau disadarkan bahwa mereka sudah ditipu dan dikadali melalui layar kaca, astagafirullah, maka dari mana saya dapat duit?. Revolusi mental akan menjadi musuh pesohor, musuh stasiun TV, musuh rumah-rumah produksi. Pada Revolusi Mental, edukasi wajib menjadi nomor satu. Tak ada pesohor atau stasiun TV yang menginginkan itu.
Edukasi paling baik adalah melalui keteladanan. Para Nabi tidak perlu banyak berbicara tetapi sangat banyak memberikan contoh, itu sebabnya hingga ribuan tahun kemudian mereka tetap dikagumi, dan dihormati.
Bagi aparat negara yang sudah sangat lama hidup lebih besar dari besaran gaji sebagai aparat, Keteladanan adalah masalah besar. Bahkan juga menjadi masalah besar bagi tokoh agama yang terbiasa dipatuhi dengan kemutlakan. Keteladanan adalah masalah bagi sangat banyak PNS, masalah bagi sangat banyak aparat hukum, masalah bagi sangat banyak aparat kepolisian, dan lainnya. Tidak ada atau sangat sedikit yang bersedia menjadi “teladan” yang baik dan benar.
Dasar dari Revolusi Mental adalah “keteladanan”. Tanpa keteladanan tidak ada revolusi mental, yang ada adalah revolusi yang mental (terpantul balik menyerang ke diri sendiri). Capres yang mengusung revolusi mental sebagai jargon kampanye, terdapat dua kemungkinan.
Pertama : “capres ini begitu jahatnya sehingga dengan tega memanfaatkan hal-hal baik termasuk agama demi kekuasaan, membangkitkan harapan-harapan hebat hanya untuk kekuasaan, selanjutnya setelah berkuasa justru melakukan hal-hal sangat jahat”.
Kedua : “capres ini memang betul-betul orang baik yang berkomitmen mengembalikan mental bangsa ini ke arah yang benar, agar mampu meniti jembatan menuju kejayaan di masa depan, masa di mana bahkan capres itu sendiri tidak sempat melihatnya lagi”. Seandainya permasalahan mental ini dituntaskan sejak lama di masa lalu, misalnya sejak awal tahun 70-an, kini kita seharusnya telah menjadi negara “super power”. Saya tidak dapat memastikan apakah Jokowi masuk kategori yang kedua, tapi yang saya tahu Jokowi pasti bukan kategori pertama.
Kita buat dua TPS khusus. Satu TPS khusus untuk artis pesohor berserta jajarannya seperti stasiun TV dan rumah produksi. TPS kedua khusus untuk birokrat-birokrat pemerintah dan PNS. Kemungkinan besar di dua TPS tersebut Jokowi akan kalah telak.
Tapi tidak apa-apalah, toh ada ribuan TPS dengan jutaan rakyat yang sudah bosan dengan jani-janji muluk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H