Pamer kekuatan TNI di Petamburan dan pencopotan baliho HRS yang melibatkan TNI, ditanggapi oleh publik dengan dua cara, setuju dan tidak setuju.
Mari kita coba melihat UUD 45, BAB XII Pasal 30:
ayat (2): Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung.
Ayat (3): Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
Publik yang tidak setuju memberikan alasan bahwa menurunkan baliho itu bukan tugas TNI, tugas TNI adalah menjaga keutuhan dan kedaulatan negara. Pencopotan baliho itu semestinya tugas pemda, dan alasan kenapa perlu dicopot adalah karena melanggar tata ruang, mungkin juga tidak menyetor pajak ke kas pemda. Kelompok yang tidak setuju ini juga sekaligus mengkhawatirkan kembalinya dwi fungsi seperti di jaman ORBA.
Yang justru aneh adalah komentar pengamat dan beberapa parpol. Mereka bilang menurunkan baliho itu bukan tupoksinya TNI, tapi tuoksinya satpol PP. Alasan kenapa komentar itu aneh adalah karena pengamat dan parpol itu belum pernah melayangkan protes ke satpol PP mengapa baliho itu dibiarkan terpasang di sembarang tempat. Pengamat dan parpol itu hanya berpikir setengah jalan, diam ketika dipasang protes ketika diturunkan.
Sedangkan publik yang setuju alasannya lebih karena kegeraman yang memuncak. Baliho itu terpasang di sembarang tempat tanpa menghiraukan estetika keruangan, pokoknya di mana suka ya pasang di situ. Kelompok yang setuju itu juga merasa bahwa pemda, Polri, dan aparat pemerintah takut berhadapan dengan massanya HRS. Jadi satu-satunya harapan ada di pundak TNI, setujuuu .....
Sesuai UUD 45 Pasal 30 ayat (3), betul bahwa tugas TNI adalah menjaga keutuhan dan kedaulatan negara, tetapi pasal itu tidak mengatakan bahwa tugas TNI hanya menjaga keutuhan dan kedaulatan negara. Lihat ayat (2), pertahanan dan keamanan rakyat semesta, itu melibatkan unsur TNI dan POLRI sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung.
Walau begitu, baiklah kita anggap saja bahwa tupoksinya TNI hanya menjaga kedaulatan negara. Hal itu berarti TNI bertanggungjawab untuk mencegah segala sesuatu yang mengancam kedaulatan negara, dan yang mengancam kedaulatan negara itu umumnya datang dari luar.Â
Jikapun terjadi perebutan kekuasaan antar partai di dalam NKRI, karena tidak mengancam kedaulatan negara maka TNI tidak boleh melibatkan diri. Kita tahu HRS dan FPI mereka semua adalah WNI yang sah, mereka di dalam seperti kita juga.
Lantas, mengapa TNI ikut terlibat hanya untuk menghadapi sebuah ormas, apakah ormas tersebut sebegitu kuatnya sampai mampu mengancam kedaulatan negara? ....
Nah, kita perlu berpikir dan menganalisis dengan cara yang berbeda. Seperti ini: Jika TNI sudah melibatkan diri, berarti kedaulatan negara sedang terancam.Â
Melihat bahwa perwira-perwira tinggi TNI saat ini bukan lagi produk dari dwi fungsi, maka layak dipercayai bahwa TNI melibatkan diri bukan bermaksud untuk mengembaikan dwi fungsi seperti zaman ORBA dahulu kala.Â
Lebih mungkin untuk mempercayai bahwa TNI turun gunung adalah disebabkan memang kedaulatan negara sedang terancam. Masalahnya adalah, kita yang rakyat kebanyakan tidak memiliki daya penglihatan yang mampu menembus sekat-sekat yang menyembunyikan sesuatu, tetapi TNI memiliki kemampuan seperti itu. Publik hanya bisa melihat HRS dan FPI, selebihnya tidak.
Lantas bagaimana pula caranya HRS beserta massa dibelakangnya, katakanlah memang mencapai sepuluh juta orang, mampu mengancam kedaulatan dari 240 juta lebih yang lainnya?
Jika hanya HRS dan FPI memang tidak mungkin. Mungkin saja mereka dapat meletupkan api permusuhan di banyak tempat, tetapi POLRI yang bertanggungjawab memadamkan itu, bukan TNI.
Lha, jika begitu, kenapa TNI turun gunung, pasukan yang turun itupun selain khusus juga spesial. Jawabannya ya kedaulatan negara sedang terancam. Lantas, apa atau siapa yang mengancam?
Seperti yang saya sebutkan di atas, TNI terutama pasukan khususnya itu, pasti memiliki informasi-informasi dari ruang-ruang tersembunyi, informasi yang oleh publik tidak terlihat dan tidak dipahami.Â
Mata publik hanya bisa melihat sesuatu di bawah terangnya sinar matahari. Sedangkan pasukan khusus itu mampu menggali informasi hanya dari bau angin yang bertiup dan dari kepakan sayap kupu-kupu.
Jika melihat sepak terjang HRS dan FPI, yang lantang berteriak revolusi, mengumbar ancaman, mengumbar makian kepada pemerintah, dan semua dilakukan di ruang terbuka, tindakan  seperti itu menunjukkan ciri-ciri dari sebuah pion, ya mereka hanya pion, yang dengan mudah dapat dikorbankan untuk melindungi raja. Lantas, siapakah sang raja itu?
Siapakah benteng, mentri, kuda, perwira, terutama siapakah raja, yang menggerakkan pion-pion ini, informasi itu tidak bisa diperoleh jika pion-pion itu dibabat habis sejak awal. Sang raja akan menciptakan pion-pion yang lain.
Begitulah alasan yang paling masuk akal, mengapa selama ini pion itu seolah-olah dibiarkan bebas bergerak tanpa hambatan. Semakin jauh pion bergerak dari sang raja, semakin terlihat siapa sang raja itu. Sang pionlah yang menuntun perjalanan untuk menemukan sang raja.
Nah, menurut saya, sang raja itu sudah teridentifikasi, dan memang sedang dan akan melakukan sesuatu yang mengancam kedaulatan NKRI. Jadi saatnya TNI turun tangan menjalankan kewajibannya. Kekhawatiran terhadap kembalinya dwi fungsi menjadi tidak beralasan.
AYO TNI .... HARAPAN DILETAKKAN DIPUNDAKMU. Dari pion sampai sang raja, binasakan semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H