Negara tidak terbentuk karena kehendak sejarah, tidak juga karena difirmankan. Tetapi Negara adalah wujud fisik dari sebuah gagasan atau wacana. Terwujudnya sebuah gagasan menjadi sebuah Negara tidak harus melalui perang senjata, tetapi pasti harus melalui perang gagasan.
Tanggal 17 Agustus 1945 menjadi tanggal terwujudnya sebuah gagasan kebangsaan, dan gagasan itu sudah lahir, disiarkan, lalu diperjuangkan jauh sebelum tanggal proklamasi tersebut. Tanggal 17 Agustus 1945 adalah saat runtuhnya wacana kolonialisme dan lahirlah wacana keindonesiaan.
Gagasan atau wacana itu, kemudian dituliskan menjadi konstitusi, yang menjadi sumber hukum tertinggi saat gagasan kenegaraan terwujud menjadi sebuah Negara. Itu sebabnya, mengkhianati konstitusi menjadi pengkhianatan terbesar, dan melanggar konstitusi menjadi pelanggaran terberat.
Walau sebagian sama, tetapi lebih banyak Negara yang didirikan pada gagasan yang berbeda, dan karena itu konstitusinya pun menjadi berbeda. Itu sebabnya, dalam pergaulan antar Negara, sangat diperlukan kemampuan untuk menghargai dan menghormati konstitusi Negara lain, bahkan seandainya konstitusi itu berlawanan dengan konstitusi kita. Atheis dan yang theis tidak harus bermusuhan apalagi berperang. Dalam pergaulan internasional, Negara menjadi wilayah yang sifatnya privat.
Jika sebuah Negara berdiri berlandaskan gagasan yang atheis, tidak ada yang berhak melarang itu. Begitu juga tidak bisa dilarang jika sebuah Negara didirikan berdasarkan sebuah agama (teokrasi). Anda boleh saja tidak setuju terhadap sebuah gagasan, tetapi anda tidak berhak untuk melarang gagasan tersebut. Itu yang membuat Negara bergagasan atheis tetap bisa berdampingan dengan Negara lain yang bergagasan theis.
Pada pergaulan antar Negara, "Di mana bumi di pijak, di situ langit dijunjung" menjadi etika pergaulan yang sangat penting. Maka, jika di sebuah Negara yang bergagasan teokrasi (agama) terdapat larangan beribadah bagi agama lain, itu seharusnya tidak perlu dipersoalkan, terutama oleh orang yang bukan warga Negara tersebut.Â
Jika tidak suka dengan konstitusi sebuah Negara, ambil sikap yang tegas. Misalnya, tidak menjadi warga di Negara tersebut, atau tidak berhubungan dengan Negara tersebut, tinggalkan Negara tersebut, jangan pernah berkunjung ke Negara tersebut.Â
Menuntut sebuah Negara mengubah konstitusinya agar sesuai dengan kehendakmu, itu sebuah kebodohan besar, dan juga kesombongan yang tengil. Terimakasih jika China menginjinkan sebuah Gereja berdiri, tidak apa-apa juga jika tidak diijinkan, konstitusi mereka ya memang seperti itu.
Sekarang ini, Emmanuel Macron berada pada posisi terjepit. Macron dijepit oleh dua gagasan yang berbeda, gagasan "penghormatan mutlak terhadap Nabi" dan gagasan "kebebasan mutlak berekspresi". Siapapun atau apapun bebas dibuat ke dalam karikatur, siapapun bebas menulis dan melukis. Jika kita jujur, kita harus mengakui bahwa hal itu adalah hak mereka, dan tentu saja mereka sudah bersiap diri menanggung segala konsekuensi yang ditimbulkannya.
Macron pastilah sadar dan tahu bahwa banyak yang terluka akibat karikatur Nabi, tetapi diapun sadar bahwa negaranya dibentuk bukan berdasarkan "penghormatan mutlak terhadap Nabi", tetapi oleh gagasan "kebebasan mutlak berekspresi". Gagasan kebebasan berekspresi itu dahulu kala ditegakkan melalui perjuangan penuh darah yang memakan banyak korban, dan karena itu dituliskan ke dalam konstitusi mereka.
Mengkhianati konstitusi menjadi penghianatan terbesar, dan tampaknya Macron tidak akan memilih jalan itu. Tiap-tiap warga Negara Perancis harus tunduk pada konstitusi Perancis, tidak pada konstitusi yang lain. Jika anda tidak suka konstitusi kami, segera keluar dari wilayah kami, tanggalkan kewarganegaraanmu secepatnya. Jika anda memilih menjadi warga Negara Perancis, berarti anda sudah menyatakan tunduk pada konstitusi Perancis, dan salah satu roh dari konstitusi itu adalah kebebasan berekspresi. Mungkin, seperti itulah Macron berpikir.