Keadilan hanya bisa terwujud, jika dimulai dari pikiran, adil dalam pikiran, adil berpikir, maka adil bertindak. Di dalam bahasa yang lebih sederhana dikatakan seperti ini: "jangan lakukan ke orang lain apa yang tidak ingin dilakukan orang lain itu kepadamu". Frase ini, dengan daya penjelas yang sangat kuat mampu menjelaskan maksud dari adil dalam pikiran, gamblang, dan benderang.
Orang yang paling dungu sekalipun dapat dengan mudah memahami bahwa tidak mungkin adil dalam tindakan jika tidak adil dalam pikiran, itu omong kosong yang keterlaluan. Kakek saya yang tidak tamat SD dulu sering berkata begini ke kami cucu-cucunya, "kalau kau tidak ingin dicubit maka kau jangan mencubit siapapun, kalau kau tidak ingin ditinju maka kau jangan meninju siapapun". Jangankan buku psikologi atau buku-buku keren lainnya, kakek saya ini hanya mempunyai satu buku yang selalu dibaca setiap malam sebelum tidur.
Tidak mungkin kau bertindak adil ke orang lain, sedangkan dalam pikiranmu derajat orang lain itu jauh dibawah derajatmu. Kedunguanmu menjadi-jadi karena merasa bahwa pihak yang kau hina tidak berhak untuk tersinggung dan marah. Itulah kata kakekku.
Contoh yang sangat bagus di dalam sejarah sangat banyak, Hitler salah satunya. Di dalam pikirannya, Hitler menganggap Jerman adalah ras unggul, mengemban tugas sejarah untuk menjadikan bangsa Jerman sebagai tuan di bumi, bangsa-bangsa lainnya harus tunduk dan menjadi budak pelayan untuk bangsa Jerman. Pikiran diikuti tindakan, hasilnya adalah genosida. Kita akan menjadi mahluk paling dungu jika pikiran kita tidak mampu memahami hal sederhana ini, adil dalam pikiran maka adil dalam tindakan.
Jika kau tidak ingin umatmu yang minoritas di suatu wilayah di bumi ini mengalami tekanan psikologis, dihalangi untuk beribadah, dihina dan dilecehkan, kitab sucimu diinjak dan dibakar, tokoh agamamu dihina, maka jika kau adil dalam berpikir, seharusnya kau tidak membiarkan kejadian yang sama dialami oleh kaum minoritas di wilayahmu, dengan alasan apapun. Kecuali, jika kau memang adalah mahluk terdungu sampai pikiranmu tidak mampu memahami konsep "adil dalam pikiran".
Emmanuel Macron membuat Mahatir merasa berhak terhadap nyawa jutaan orang Perancis, luar biasa. Entah dengan alasan apapun, merasa berhak atas nyawa manusia adalah dosa besar, melangkahi hak Tuhan, apalagi jutaan nyawa.
Menjadi tidak jelas, di antara Macron dan Mahatir, siapa yang lebih gila. Merasa berhak terhadap nyawa jutaan orang itu sangat berbahaya terhadap kemanusiaan, itu merupakan ciri-ciri megalomania yang akut. Dalam hal ini, salut terhadap orang Perancis (bukan pemerintahnya) yang tidak merespon dengan kadar yang sama.
Anggota parlemen Malaysia, Nik Muhammad Zawawi Nik Salleh, menghina perasaan kaum minoritas Kristen di Malaysia dengan mengatakan bahwa Alkitab itu palsu, sudah dimanipulasi. Hebatnya lagi, Nik Muhammad mengatakan bahwa kaum minoritas tidak berhak untuk tersinggung, apalagi marah. Bayangkan, hak untuk tersinggungpun dicabut. Mahatir diam saja, ya kan.
Seruan pembakaran Alkitab menjelang pemilu parlemen pada bulan April 2013, oleh Ibrahim Ali, ketua perkasa, Mahatir diam saja. Hannah Yeoh, politisi Kristen, dilaporkan ke polisis hanya karena agama yang dianutnya dan karena ia menceritakan imannya di dalam sebuah buku, Becoming Hannah, A Personal Journey.
Mahkamah Tinggi Malaysia mengeluarkan keputusan yang unik, bahwa kaum minoritas tidak boleh menggukan kata "Allah", putusan yang mendorong sebuah otoritas mengadakan sweeping, menyita 321 Alkitab dari tangan sekelompok minoritas, lalu membakarnya. Mahatir diam saja. Pemerintah Malaysia menyita sejumlah Alkitab yang diimpor dari Indonesia, Mahatir diam saja, sekali lagi Mahatir diam saja.
Dan tiba-tiba, Mahatir merasa berhak terhadap nyawa jutaan orang Perancis. Andaikata orang Perancis merespon dengan cara yang sama, merasa berhak terhadap nyawa jutaan orang Malaysia, dunia ini bubrah, kacau, dan hancur. Bayangkan, ketika orang Malaysia bertemu dengan orang Perancis di Hongkong, keduanya langsung saling membantai.