Ketika pilgub DKI putaran ke satu selesai dan harus dilanjutkan ke putaran kedua, dibutuhkan dana miliaran rupiah untuk meng-update daftar pemilu ulang.Â
Pada hal selang waktu dari putaran ke satu ke putaran ke 2 hanya beberapa bulan saja. Dalam beberapa bulan tersebut, pasti ada yang mati dan ada yang naik kelas dari belum ikut di putaran ke satu menjadi ikut di putaran ke dua karena usianya menjadi genap 17 taon.Â
Tapi kan jumlahnya tidak seberapa, dan jika sistem pendataan berjalan dengan baik dan benar,  perubahan itu mudah diketahui.
Setiap pilkada, pileg, apalagi pilpres, meng-update daftar pemilih tetap menghabiskan biaya super gede. Selain biaya yang gede itu, banyak kecurigaan yang muncul dan tuduhan bahwa telah terjadi manipulasi data.
Bahkan pada masa pandemic COVID-19, menyalurkan bantuan menghadapi masalah besar karena data yang tidak akurat, atau bahkan sangat tidak akurat. Bantuan sampai membusuk di gudang karena data tidak ada, sementara di luar sana begitu banyak massa yang kesulitan mengais rejeki. Dan ini yang luar biasa, orang yang sehari-hari mengendarai BMW 7-i terdaftar sebagai penerima bantuan.
Kenapa begini ya?
Lantas saya teringat saat mega kasus E-KTP mulai terbongkar. "Bubrah semua", begitu kata presiden. Kini saya pahami bahwa konsekuensi dari kata "bubrah" menjangkau ranah yang jauh ke depan, luas dan sangat dalam. Kerusakan yang ditimbulkan para pemain yang mempermainkan E-KTP adalah sangat luas, sangat dalam, dan akan sangat lama.
Maka, mari bermimpi, andaikata E-KTP berjalan dengan baik dan benar. Maka, kini kita memiliki "Data Base Kependudukan" yang benar, akurat, selalu ter-update setiap saat. Lantas, untuk apa data base seperti itu?
Bah, banyak kali gunanya.
Biaya meng-update daftar pemilih tetap menjadi murah dan mudah dilakukan, betulkan?
Program pengentasan kemiskinan menjadi tepat sasaran, begitu juga pendistribusian bantuan ke masyarakat yang kurang mampu, mudah, cepat, murah biayanya, dan terutama tepat sasaran. Ini betul juga kan?