Mohon tunggu...
Jonny Hutahaean
Jonny Hutahaean Mohon Tunggu... Wiraswasta - tinggi badan 178 cm, berat badan 80 kg

Sarjana Strata 1, hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Financial

Recehan Satu Triliun Rupiah

6 Oktober 2020   11:53 Diperbarui: 6 Oktober 2020   12:13 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

"Berapanya satu miliar itu lae?" tanya teman. Ini peristiwa taun 80-an, ketika itu manajer satu miliar Tanri Abeng  menjadi berita heboh tetapi tidak viral, sebab taon 80-an kata "viral" belum lahir.

Itu sama dengan angka satu dengan sembilan angka nol di belakangnya, saya jelaskan, dan menurut saya penjelasan saya itu sangat sederhana dan mudah dimengerti.

Eh... bukannya menunjukkan ekspresi paham, malahan temanku ini menayangkan ekspresi kosong dan cuek. Rupanya sembilan angka nol baginya adalah tidak berarti, sebab nol itu tidak ada, katanya. Angka satu dengan sembilan angka nol sama dengan satu, murah, jadi satu miliar itu manajer murahan. Satu miliar rupiah tidak membuat kaget bukan karena kawanku ini sangat kaya, tapi karena tidak paham berapa banyak satu miliar itu.

Begini lae, jika uang 20 ribu kau bariskan satu persatu di jalan raya, maka panjangnya barisan itu 7,6 km, itu jarak dari terminal cililitan (taon 80-an terminal itu masih ada) sampai ke Caman melalui jalan raya kalimalang. Barulah temanku ini pusing setengah mampus, penjelasan yang jitu buat seorang sopir angkot. Capek kali lae ya, jalan kaki dari Cililitan sampai ke caman memungut satu persatu, katanya lagi. Bah ... belum paham juga dia rupanya.

Para sopir memahami nilai uang berdasarkan jarak, hebat kali mereka. Maka bagi sopir lintas Sumatera yang terbiasa dengan jarak tiga ribu kilometer, jarak Cililitan ke Caman itu hanyalah recehan. Dekat kali itu lae, cuma sepuluh kali tarikan napas dan duapuluh kali menginjak gas, kata mereka. Satu miliar rupiah, bagi sopir lintas Sumatera adalah recehan, bayangkan.

Lantas, meledaklah kasus L/C-nya Edi Tansil, nilai melebihi satu triliun rupiah, dua belas angka nol. Kasus ini mulai terungkap hampir bersamaan dengan terbitnya uang kertas pecahan 50000-an rupiah, pada tahun 1993, jadi pecahan 50000-an belum banyak beredar. Dengan terpaksa, untuk menjelaskan satu triliun masih harus menggunakan uang kertas 20000-an yang panjangnya 152 mm satu lembar.

Jika uang 20000-an kau bariskan sambung menyambung, maka panjang barisan duit satu triliun itu menjadi 7600 km, begitulah lae.

Bah, ada juga lae orang gila yang mau jalan kaki memungut itu satu persatu ya, kata supir angkot. Oooo ... jarak trip Medan ke Jakarta pulang pergi ya, kata sopir bus lintas Sumatera. Tetap saja pikiran kedua jenis sopir ini takmampu menjangkau duit satu miliar, apalagi satu triliun, tetap sebagai recehan.

Tetapi betul juga mereka, sejak kasus Edi Tansil mencuat, maka satu triliun menjadi recehan, korupsi satu miliar itu buat beli permen, atau buat uang jajan anak, bayangkan. Edi Tansil menjadi orang pertama yang sukses menjebol hambatan psikologis terhadap angka, membuat otak kita menjadi terbiasa dengan angka-angka super gede, triliun triliun.

Angka korupsi berikutnya membuat Edi Tansil menjadi tidak bermakna, Edi Tansil kini menjadi recehan.

Tansil, lhu itu cuma recehan, sudah recehan pengecut pula, melarikan diri. Lhu itu kecil dibanding E-KTP  yang 2,3 triliun, apalagi dibanding kasus IUP di Kota Waringin sana, 5,8 triliun bro, sedangkan lhu cuma satu triliun.

Kalau terhadap BLBI yang menilep duit 4,8 triliun, lhu itu, Tansil, hanya senilai sebiji jengkol. Kalau terhadap Pelindo-2 yang 6 triliun, lhu seperti kerupuk udang, seperti terasi jika dibandingkan ke skandal Century yang senilai 7 triliun.

Bandingkan sendiri ya, kalau terhadap Jiwasraya yang 13,7 triliun, lhu itu menjadi apa? Sekali lagi saya ingatkan, Tansil, jangan sok hebat merasa pintar mengibuli. Lhu itu pengecut karena melarikan diri, sedangkan orang sesudah lhu tidak ada yang melarikan diri, bahkan semua masuk tivi, mengacungkan jempol dan melambai.

Mari kita tunggu dan lihat, angka-angka di tahun-tahun mendatang pasti meningkat melewati angka psikologis berikut, 20 triliun.

Bagi supir angkot dan supir bus lintas Sumatera, berapapun angka-angka di tahun mendatang, semua itu recehan. Berapapun nol yang mengikutinya, semua itu recehan sebab bagi mereka nol itu adalah tidak ada.

Sopir angkot dan sopir bus lintas sumatera berhitung menggunakan jarak, jadi otak mereka tidak pernah sekarat, dan tetap sehat, walaupun mereka membaca di koran atau mendengar di tivi, bahwa sebuah kasus menyebabkan kerugian negara sebesar 500000000000000 rupiah.

Nah, kita semua tampaknya sudah menjadi sopir angkot, paling banter menjadi sopir bus lintas Sumatera, sebab kita semua, rakyat Indonesia, sudah tidak terkejut, apalagi menjadi marah, dengan angka-angka penggelapan triliunan rupiah. Bahkan, korupsi satu miliar kita sebut koruptor bodoh.

Selamat buat para sopir, sehat selalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun