Teror hanya buah dari radikalisme, bukan akarnya. Jadi pistol yang ditembakkan membunuh terduga pelaku teror, itu ibarat menembak buah mangga dengan peluru pistol. Buah mangga hancur, pohonnya tetap subur. Pohon mangga hanya bisa ditebang dengan kapak atau gergaji, tidak bisa dengan pistol. Tetapi pohon yang ditebang dengan kapak atau gergaji, masih mungkin bertunas dan tumbuh kembali. Nah, dibutuhkanlah cangkul, menggali tanah dan mencabut akar, pohon mati selamanya.
Sebuah pohon memiliki banyak ranting, pohon radikalisme juga sama dan serupa. Ranting-ranting pohon radikalisme itu banyak, diantaranya kemiskinan, kesenjangan, keputusasaan, ketamakan, kerakusan, dan terutama kebodohan. Cabang-cabangnya juga banyak, misalnya dosen, mahasiswa, guru, pelajar, pedagang, pengusaha, umat, bahkan pejabat birokrat dan pejabat publik, bahkan juga pembuat UU dan penegak hukum, pensiunan, kepala daerah, kader partai, pokoknya banyak sekali cabang itu.
Nah, pistol tidak dibutuhkan untuk mencabut pohon sampai ke akar-akarnya, tetapi yang diperlukan adalah cangkul, gergaji dan kapak. Mungkin saja pistol diperlukan, tetapi itu untuk menembak orang yang mencegah dan menghalangi pekerjaan menebang dan mencabut pohon sampai ke akar-akarnya.
Tiga paragaraf di atas hanya untuk menunjukkan bahwa, mungkin saja kita salah dalam tindakan untuk mematikan pohon radikalisme itu. Kesalahannya terletak pada senjata yang diandalkan, pistol dan peluru.
Cangkul itu simbolisme pendidikan karena berfungsi untuk menggali dan menanam, gergaji itu simbol dari UU yang bergigi, dan kapak itu parallel makna dengan aparat yang kokoh tajam dan bertenaga. Cangkul, gergaji dan kapak, alat utama yang perlu dan cukup untuk menebang dan mencabut akar dari pohon radikalisme. Itu saja.
Lantas, jika pohon sudah ditebang dan akarnya dicabut, masalah tidak lantas selesai. Masalah berikut adalah di bibit, yang jika disiram dengan tekun dan disiangi dengan baik akan tumbuh menjadi pohon juga. Justru bibit paling susah diidentifikasi, sulit dilihat kasat mata, tidak disadari tiba-tiba sudah jadi pohon, bahkan banyak pohon sekali tumbuh, tiba-tiba sudah menjadi taman.Â
Tidak mungkin, dan juga tidak efisien, menebang dan mencabut akar dari semua pohon di taman. Yang paling mungkin, meski bukan yang terbaik, adalah menikmati tamannya, menghirup udara dari pohon-pohon radikalisme itu. Critical point, atau no point to return, taman pohon radikalisme saya juluki begitu. Keadaan dimana kita bukan lagi NKRI.
Bagaimana seorang anak kecil bertumbuh jika sejak bayi tidak pernah diperkenalkan terhadap kosa kata rakyat, tetapi dijejali dengan kosa kata umat, sulit menduga dan memprediksi hasilnya. Tetapi pantas diduga salah satu hasilnya adalah ketika dia menjadi pejabat penting seperti Gubernur, yang ada di kepalanya adalah kesejahteraan umat, bukan kesejahteraan rakyat. Dan apabila banyak anak yang tumbuh seperti itu menjadi anggota legislatif di masa depan, mudah sekali menghapus kata rakyat dari konstitusi dan menggantinya dengan kata umat.
Jika sejak bayi sudah dijejali dengan pemisahan, lewat simbol, lewat stigma, pengkotakan, pasti akan tumbuh dan besar di bawah simbol yang menaunginya, dengan stigma yang dicapkan padanya, di dalam kotak yang dijejalkan memenjarakan pikirannya. Pejabat Negara di jabatan penting yang  berpikir terkotak-kotak, bertindak berdasarkan stigma. Itu adalah keadaan dimana nasionalisme tidak lagi relevan.
Bibit radikalisme itu kini banyak disemaikan di dalam tubuh, hati, dan pikiran anak-anak kecil, bahkan sejak bayi. Di masa depan, hasilnya adalah ........
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H