Mohon tunggu...
Jonny Hutahaean
Jonny Hutahaean Mohon Tunggu... Wiraswasta - tinggi badan 178 cm, berat badan 80 kg

Sarjana Strata 1, hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

"Plintat-plintut Reklamasi"

9 Juni 2018   13:47 Diperbarui: 9 Juni 2018   13:53 1017
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Reklamasi teluk Jakarta menjadi sebuah topik yang seksi, untuk komoditas politik maupun komoditas bisnis.

Buat kalangan yang setuju reklamasi dilanjutkan, banyak alasan yang telah disampaikan. Pulau-pulau reklamasi dapat menjadi bumper yang melindungi Jakarta dari kenaikan permukaan laut akibat pemanasan global, kata kaum pendukung. Ini jelas alasan yang absurd dan dibuat-buat, sebab jika permukaan air laut memang akan naik, tak ada apapun yang dapat melindungi Jakarta. Satu-satunya jalan adalah Jakarta dipindahkan ke gunung.

Ada juga alasan lain, mengurai atau paling tidak mengurangi tingkat kemacetan di Jakarta yang memang sudah parah dan tidak masuk di akal sehat setiap orang yang berakal sehat. Tetapi ini juga alasan yang aneh. 

Cara terbaik mengurai kemacetan di Jakarta adalah mengurangi jumlah mobil yang berarti mengurangi jumlah penduduk. Karena tidak boleh mengusir orang dari Jakarta, maka yang perlu dilakukan adalah mengurangi daya tarik Jakarta. Mengurangi daya tarik Jakarta juga kurang afdol, paling baik adalah menaikkan daya tarik luar Jakarta sehingga orang tidak lagi berkeinginan merantau ke Jakarta.

Kalau kaum yang tidak setuju, jumlah alasan yang disampaikan lebih banyak. Mulai dari amdal yang dicurigai hasil kong kali kong, reklamasi menyebabkan hancurnya ekosistem teluk Jakarta dan mengurangi luas tangkapan bagi nelayan, menambah kecemburuan sosial karena penghuni pulau hasil reklamasi pasti orang-orang super kaya dan super eksklusif.

Jangankan mereklamasi untuk membuat pulau buatan, hanya menebang sebuah pohon besar dapat merusak ekosistem. Di kampung saya hal itu sudah terjadi. Pohon beringin raksasa yang menjadi land mark kampung ditebang habis, setahun kemudian mata air yang menjadi sumur utama di kampung mati, kering kerontang. Tetapi ekosistem itu laksana organisme hidup, akan menyesuaikan diri menjadi sebuah ekosistem yang baru. Tetapi tidak ada yang dapat memprediksi dengan akurasi tinggi, seperti apa ekosistem yang baru hasil penyesuaian diri itu. Saat pelabuhan Tanjung Priok dibangun dahulu kala, itu pasti merusak ekosistem lama, bahkan pengeboran air tanah di Jakarta yang sangat massif pasti merusak siklus hidrologi bawah tanah.

Tetapi yang pasti, rebut-ribut tentang reklamasi sebenarnya bukan karena demi kebaikan Jakarta, itu melulu bisnis dan politik. Kaum bisnis melihat reklamasi sebagai bisnis menggiurkan, meski modal sangat besar tetapi menjanjikan keuntungan maha raksasa. Birokrat dan politikus melihat reklamasi hanya sebagai komoditas yang bisa digoreng-goreng, komoditas politik untuk menaikkan elektabilitas dan perolehan jumlah suara, atau untuk memperoleh sesuatu bagian yang bernilai ekonomis.

Jika pemerintah, dalam hal ini pemda DKI, betul-betul yakin bahwa reklamasi pulau buatan itu sangat merusak dan mengancam Jakarta, maka satu-satunya tujuan dari tindakan adalah mengembalikan keadaan ke keadaan seperti sebelum pulai reklamasi terbentuk. Maka tindakan yang diambil seharusnya, cabut dan batalkan UU tentang reklamasi, cabut ijinnya proseduralnya, berikan ganti rugi kepada pengembang dan pembeli, keruk pulau yang sudah terbentuk dan kembalikan menjadi laut seperti sebelumnya.

Jika tindakan yang diambil sekedar menyegel bangunan yang sudah ada, atau menghentikan secara total kegiatan reklamasi, itu tidak bermanfaat untuk menyelamatkan Jakarta dari apapun. Toh pulau sudah kadung terbentuk, lantas mau diapain itu pulau? Mau dibiarkan menjadi sarang tikus, atau sarang bandar narkoba, atau menjadi pos teroris?

Di sinilah saya merasakan pemda DKI tidak konsisten. Tampaknya koar-koar ketidaksetujuan terhadap reklamasi, dan tindakan-tindakan yang sudah diambil, hanya untuk menaikkan daya tawar agar dapat memperoleh sesuatu yang lebih besar. Setelah bangunan tidak berijin disegel, lalu apa? Jika mereka datang mengurus ijin, apakah akan diberikan?. Penyegelan bangunan takberijin di Pulau D bagi saya hanya sebuah kode atau panggilan kepada pengembang agar bersedia melakukan negosiasi ulang.

Sekali lagi, jika pemda DKI meyakini bahwa reklamasi mengancam keselamatan Jakarta, maka itu harus disetop total, pulau yang sudah terbentuk dikeruk lagi dan dikembalikan menjadi laut. Konsekuensi yang timbul seperti meningkatnya ketidakpastian hukum, peringkat kelayakan investasi bisa turun, masalah hukum dan ganti rugi, itu semua harus dihadapi dan diselesaikan, keselamatam Jakarta jauh lebih penting dari semua konsekuensi tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun