'2. Resiko dan Peluang
Selama puluhan tahun subsidi dan BLT memasung pemerintah sehingga tidak berdaya membangun infrastruktur dasar. Hasilnya, biaya logistik di Indonesia adalah yang tertinggi di Asia Tenggara. Bayangkan keanehan berikut, biaya logistik jeruk dari Pontianak ke Jakarta jauh lebih mahal dari biaya logistik jeruk dari Beijing ke Jakarta, maka rak-rak toko buah di Jakarta penuh dengan jeruk Pokam dari China.
Keterlenaan yang timbul akibat subsidi dan BLT selama puluhan tahun sudah sedemikian akut, sehingga tuntutan rakyat tidak lagi sekedar subsidi dan BLT, tetapi semua harus serba murah. Beras murah, minyak goreng murah, cabai murah, ikan asin murah, sayur murah. Â Nah yang terakhir ini, ketika pemerintah lebih giat menagih pajak, banyak yang nyinyir menuduh pemerintah hendak merampok rakyat melalui pajak, bah.
Keterlenaan itu melahirkan tuntutan yang kalau dirangkum kira-kira seperti ini : BBM dan listrik harus disubsidi, semua barang harus murah, pajak harus rendah atau tanpa pajak, gaji harus naik tetapi produktivitas mandeg, hari libur lebih banyak. Pada keadaan seperti ini, berapa lamakah sebuah Negara bisa bertahan?
Menghapus subsidi dan BLT, menagih pajak sesuai UU, dua tindakan ini beresiko besar karena berpeluang meruntuhkan rezim yang melakukannya. Tetapi dua tindakan itu adalah pintu menuju masa depan yang berdaya tahan, produktif, dan berdaya saing.
Rezim yang hanya berpikir melanggengkan kekuasaan tidak akan memiliki nyali melakukan kedua tindakan tersebut. Tetapi rezim yang tulus memikirkan kelanggengan Negara dan kesejahteraan di masa depan, pasti berani melakukannya.
Menghapus subsidi dan BLT, menagih pajak sesuai UU, adalah tindakan beresiko dan sekaligus berpeluang.
'3. Konsumsi dan Produksi
Puluhan tahun yang lalu, pemerintah giat membentuk PDB (Produk Domestik Bruto) melalui "konsumsi", berarti memacu konsumsi masyarakat. Tetapi rezim pada masa itu melupakan suatu hal pokok, "yang hendak dikonsumsi itu dibuat oleh siapa dan di mana?"
Betul sih penjualan ponsel meningkat, penjualan mobil dan TV meningkat, penjualan kulkas dan mesin cuci meningkat, penjualan laptop dan note-book meningkat, tetapi itu semua dibuat di China, di Jepang, dan di Korsel.
Nah, sudah waktunya kita membutuhkan rezim yang berani mengubah dari paradigma "konsumsi" menjadi paradigma "produksi". Maka slogan kerja, kerja, kerja, harus diimplementasikan dengan konsisten dan konsekuen.