Sambil menyetir menuju ke kantor, saya berdiskusi ringan dengan teman yang nebeng karena kantor yang berdekatan. Untungnya (?) jalan tol dan yang bukan tol keduanya lumayan macet sehingga diskusi ringan kami bisa berlangsung smart. Yang kami diskusikan itu adalah tentang epidemi narkoba yang sedang disiarkan lewat siaran radio.
Teman saya sangat setuju dengan pendapat salah seorang pemirsa radio, bahwa faktor kunci mengatasi epidemi ini adalah memutus suplai. Coba, kalau tidak ada barang, tak ada pecandu. Biarlah para pecandu itu menderita menahan kecanduan, sampai akhirnya sembuh.
Sementara saya lebih setuju kepada pendapat pemirsa lain, bahwa demand yang harus diputus. Coba, kalau tidak ada yang membeli, mafia narkoba tidak akan datang ke sini, katanya, dan saya lebih menyetujui itu.
Oh, suplai dan demand itu ibarat ayam dan telor ya, mana yang lebih dahulu? Tetapi yang paling logis dan paling mudah itu adalah memutus suplai. Itu memerlukan ketegasan, terutama kejujuran. Â Kata teman ini. Coba, kalau tidak ada satupun yang mau disuap apalagi terlibat menjadi beking, suplai itu mudah diputus. Kan tidak mungkin Negara bisa kalah menghadapi bandar narkoba, itu jika semua aparat Negara bersih, jujur, dan berkomitmen memberantas narkoba. Begitu teman ini melanjutkan.
Bah, kau menuduh ada  aparat Negara terlibat? hati-hati kau kawan, kata saya. Bisa-bisa kau diciduk dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Hei, saya rasa orang paling bodohpun bisa mengerti mengapa lapas yang dikelola negara, tempat para terhukum narkoba menjalani hukuman, justru malah menjadi kantor paling aman bagi bandar narkoba untuk mengendalikan operasinya. Sampai-sampai ada bandar yang dengan sengaja membiarkan dirinya tertangkap, hanya agar dimasukkan ke lapas, dan menjadikan lapas sebagai kantor pusat kendalinya. Bayangkan, dibiayai dan dijaga oleh Negara.Â
Teman ini berkata agak emosional, hanyut oleh perasaan sendiri. Lagi pula, bisakah kau jelaskan mengapa kontainer berisi narkoba itu bisa lolos dari laut ke pelabuhan, dari pelabuhan ke darat, lolos melenggang di jalan raya yang penuh orang lalu-lalang menuju suatu tempat? Ayo, jelaskan itu kawan.
Pahami apa makna dibalik berita ini, pada Januari 2014, mantan ketua MK ditangkap karena penyalah gunaan narkoba, dan pada Agustus 2016 enam polisi Indonesia diciduk di Malasya atas kasus Narkoba, Mei 2015 seorang hakim, agustus 2015 hakim lagi, Oktober 2015 anggota DPRD, November 2015 anggota DPRD lagi, Februari 2016 anggota DPR, Maret 2016 Bupati, semua terciduk karena telah menjadi pengguna dan pecandu barang jahanam, narkoba. Lihat profesi mereka, legislatif, eksekutif, dan yudikatif, semua sendi demokrasi itu kawan.
Bah, betul juga kawan ini, pikir saya. Tetapi kawan, yang kau sebutkan itu memerlukan tindakan tegas, terutama kejujuran dan ketulusan, serta komitmen untuk memberantas dan membinasakan semua bandar narkoba. Nah, di situlah letak kesulitan yang amat sangat sulit itu. Kalau yang ada hanya satu orang, atau bahkan seratus orang seperti yang kau sebutkan itu, itu tidak cukup kawan.Â
Kita semua mesti jujur dan berkomitmen, pemerintah dan masyarakat. Bukan komitmen di mulut, atau di TV, atau di Koran, atau di seminar, atau di khotbah-khotbah, seperti yang selama ini, tetapi komitmen yang diimplementasikan menjadi wujud yang nyata di lapangan. Nah, ini kawan, inilah kesulitan yang maha sulit itu. Kata saya.
Bah, mengapa kau bilang itu sulit? Bukankah memang harus begitu? Tanya temanku ini sedikit bingung. Tengok kawan, berton-ton narkoba sudah ditangkap dan disita, bukankah itu berita gembira? Bukankah itu adalah wujud ketegasan dan komitmen pemerintah? Tanya temanku ini.