Mohon tunggu...
Jonny Hutahaean
Jonny Hutahaean Mohon Tunggu... Wiraswasta - tinggi badan 178 cm, berat badan 80 kg

Sarjana Strata 1, hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Agama Bukan Akar Konflik, Lalu Apa?

26 Februari 2018   13:29 Diperbarui: 26 Februari 2018   13:48 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat istirahat makan siang di kantor, seorang teman yang kantornya bersebelahan dengan kantor saya datang berkunjung hendak makan siang bareng di warung tegal sekitar 200 m dari kantor. Murah dan enak, terutama porsi besar, itu menjadi yang utama, soal gizi urusan terakhir.

Nah, sambil makan, teman ini punya kebiasaan membaca koran sambil makan, dan tiba-tiba dia berseru : ini yang betul, agama tidak mungkin menjadi akar konflik, tetapi faktor ekonomilah, tepatnya kemiskinan, yang menjadi akar paling dalam, katanya. Itu karena kawan ini membaca di Koran isi pidato Pak Jusuf Kalla saat pengukuhan gelar Doktor HC (Honoris Causa) di sebuah Universitas di Sulawesi.

Ah, itu tergantung seberapa jauh kita menghubung-hubungkan konflik dengan akarnya, sebab setiap akar selalu bercabang lagi sampai ke bulu-bulu paling halus. Bisa juga kita buat hubungan sehingga yang menjadi akar konflik itu adalah pemerintah itu sendiri. Saya berkata agak lirih karena orang yang makan masih ramai, takut mereka terganggu sehingga selera makan hilang, hilangnya selera makan itupun bisa jadi akar konflik.

Hei kau, berpikir yang realistis dong. Semua agama mengajarkan kebaikan, dan karena itu tidak bisa menjadi akar konflik. Dan lagi pula, tak masuk akal mengatakan pemerintah jadi akar konflik. Kata teman ini agak emosi, merasa ikut tertuduh karena dia pegawai pemerintah.

Begini kawan, semua agama mengajarkan kebaikan, saya setuju, sebab tujuan dari semua agama adalah kebaikan. Tetapi kawan, ayat-ayat agama mesti ditafsirkan, yang menafsirkan adalah manusia, setiap manusia berpotensi sangat besar salah menafsirkan, baik tidak sengaja tetapi bisa juga memang punya maksud tertentu. 

Nah, coba pikirkan, bagaimana jika engkau salah menafsirkan, lalu salah mengkhotbahkan, dan umat yang mendengar salah memahami, apakah itu tidak mungkin menjadi akar konflik? saya tanya temanku ini. Dahulu kala pernah dan sering terjadi apa yang disebut perang agama. Kita bisa mengatakan itu dipicu oleh perbedaan agama, bisa juga kita katakan dipicu oleh perebutan wilayah untuk dikuasai, atau bisa juga kita sebut bahwa perang itu dipicu oleh keserakahan para komandan di lapangan, terserahlah.

Kalau begitu akar konfliknya bukan agama itu sendiri, tetapi orang yang menafsirkannya. Justru yang kau katakan itu menjadi bukti bahwa agama tidak bisa menjadi akar konflik, tetapi orang dan khotbahnya yang menjadi akar konflik, atau komandan yang serakah, temanku menjawab dengan sengit, sampai tukang warteg melirik kami.

Itulah maksud saya tadi, apa yang menjadi akar konflik tergantung seberapa jauh kita menghubung-hubungkannya. Konflik kecil kita ini bisa kau sebut karena kita makan siang bareng, coba kalau tidak. Bisa juga kau sebut karena koran, coba kalau kau tidak baca koran sambil makan. Atau kau sebut karena berita di koran, sebab jikapun kau baca koran tapi yang kau baca berita sepak bola, konflik kecil ini tidak ada, atau konflik kita jadi tentang sepak bola.

Sama seperti yang kau sebut tadi, kemiskinan jadi akar konflik. Nah, sekarang coba lanjutkan kenapa orang menjadi miskin?. Salah satu faktor adalah karena malas, hampir pasti orang malas menjadi miskin, kecuali dapat warisan kekayaan dari nenek moyangnya yang tidak habis tujuh turunan sementara dia sendiri masih turunan ke enam. Coba kalau dia turunan ke delapan, miskin juga dia. Jika begitu, maka akar konflik adalah kemalasan, bukan kemiskinan. Bisa begitu kan?

Tapi tolong jangan dibalik bahwa orang menjadi miskin pasti karena malas. Sebab banyak orang yang menjadi miskin bukan karena malas tetapi karena sumber kehidupannya diserobot oleh sesuatu. Misalnya, pemerintah memberi izin pengelolaan hutan ke perusahaan perkebunan, maka orang-orang yang selama ini turun temurun hidup nyaman dari mengelola hutan secara lestari, kini sumber kehidupannya hilang diserobot, menjadi miskinlah mereka. Dalam hal ini pemerintah yang menjadi penyebab kemiskinan, dan boleh dong saya sebut pemerintah justru menjadi akar konflik. Bagaimana kawan, kau setuju sekarang?

Bah, sesukamu ngelantur ke mana-mana, mengkaitkan semua dengan semua. Entah siapa lagi yang kau sebut dapat menjadi akar konflik. Temanku ini mendengus pertanda tak setuju. Izin pengelolaan hutan diberikan agar pemerintah mendapat uang, juga membuka lapangan pekerjaan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun