Mohon tunggu...
Jonny Hutahaean
Jonny Hutahaean Mohon Tunggu... Wiraswasta - tinggi badan 178 cm, berat badan 80 kg

Sarjana Strata 1, hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kasus Intoleransi di Gereja Santa Lidwina

12 Februari 2018   13:39 Diperbarui: 12 Februari 2018   13:41 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
regional.kompas.com

Respon standar selalu terulang, dan respon itu sangat mudah diprediksi. Usut tuntas, tegakkan hukum, harus diketahui siapa pelakunya, mengecam keras tindakan itu sebagai bentuk kebiadaban, ini harus ditelusuri, hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu agar peristiwa serupa tidak terulang, dan semua respon senada yang sangat standar Indonesia, gue banget.

Seperti yang telah lama saya duga, tepat seperti itulah respon terhadap kasus intoleransi di Gereja Santa Lidwuina di Bedog, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Seperti peristiwa sejenis di masa lalu, misalnya pembakaran di Gereja Samarinda, akan seperti itu juga respon terhadap peristiwa yang hampir pasti akan terulang di masa depan. Pasti terulang? Ya, pasti, emangnya apa yang telah kita perbuat agar hal seperti itu tidak terulang?, coba sebutkan.

Bayangkan, hanya satu orang pelaku, seperti itu juga kasus di Gereja Samarinda, sekali lagi hanya satu orang pelaku, tetapi sanggup mengguncang jagad perpolitikan nasional, mampu mengail ribuan orang memberi tanggapan ribuan jenis, laron-laron politikus dan semua mahluk yang merindukan panggung tersulut nafsunya untuk sesegera mungkin memanfaatkan peristiwa itu, sekedar untuk memperlihatkan diri ke khalayak atau syukur juga kalu sekaligus memperkenalkan diri, lihat, saya adalah manusia yang berpihak dan menjunjung tinggi toleransi.Betapa hebat luar biasa satu orang pelaku ini, sendirian mengguncang Indonesia, mengalahkan semua institusi yang ada, menaklukkan semua sistem intelijen, memberikan panggung kepada laron-laron politik.

Tetapi yang betul adalah jemaat tidak terguncang. Betul mereka kaget dan ada yang terluka, dan setiap luka pasti perih. Tetapi itu hanya perih di tubuh yang sembuh hanya dengan diolesi betadin. Perih dan luka di hati, pasti sudah sembuh karena jemaat memiliki obat paling mujarab untuk semua luka di hati dan di batin, memaafkan dan mendoakan. Itu adalah obat yang selalu digelontorkan ke setiap jemaat di setiap waktu dan tempat, dan kemujarabannya sudah terbukti berulang kali dan berkali-kali.

Laron-laron politik, kelompok yang hendak mengail di air keruh, jurnalisme banal yang ingin mengubah setiap peristiwa agar menjadi berita bernilai ekonomi, makelar-makelar politik, guncangan yang mereka ciptakan lebih keras dan lebih menggoyahkan dari pada guncangan akibat peristiwa itu sendiri. Pelaku sendirian tidak akan pernah mampu menguncang jemaat.

Tidak perlu lama menunggu, peristiwa itu segera bergeser makna dan tafsir, sesuai dengan kehendak dan kebutuhan dan kepentingan siapa yang menafsirkan. Korban segera terlupakan karena dibutuhkan hanya sebagai pembuka pintu, nama-nama korban kemungkinan besar tidak diketahui.  Target sesungguhnya ada di tempat lain. Tidak berselang lama, seorang politikus sudah tiba pada kesimpulan : Negara ini membutuhkan pemimpin yang kuat. Nah, mulai terlihat kemana arah yang dituju.

St Lidwina membuktikan baru sebegitulah level peradaban yang sudah dicapai para politikus di Negara ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun