Mohon tunggu...
Jonny Hutahaean
Jonny Hutahaean Mohon Tunggu... Wiraswasta - tinggi badan 178 cm, berat badan 80 kg

Sarjana Strata 1, hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Paradigma dan Kekerasan di Pendidikan

14 November 2017   14:23 Diperbarui: 14 November 2017   14:34 865
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seorang bapak (orangtua siswa) menonjok guru sampai tulang hidungnya retak, karena guru tersebut, menurut pengaduan anaknya, memarahi anaknya.

Seorang guru menyiksa siswa karena siswa tersebut memanggil nama guru tanpa embel-embel kata Pak.

'1. Bisiklus

Tampak bahwa kita selalu harus mengalami dua siklus yang berulang periodik. Kita sudah pernah mengalami situasi dimana guru mengalami kekerasan dan pelaku kekerasan itu adalah siswa dan orangtua siswa itu sendiri. Situasi yang meyebabkan para guru ketakuan menegakkan aturan dan mendisplinkan siswa, sebab tuduhan melanggar hak asasi siswa begitu mudah dilontarkan, yang dengan segera disambar lalu diblow-up sejumlah kalangan yang hendak memanfaatkan situasi untuk melejitkan nama diri atau nama lembaga, sangat mudah menjadi viral di media sosial. Dari pada dituntut atau ditonjok, ya biarkan saja siswa semau gue. Suatu sikap yang sangat jelas menuju kebinasaan di dunia pendidikan.

Lalu kini, yang sedang viral adalah hal sebaliknya, guru melakukan kekerasan menyiksa siswa hanya karena siswa memanggil namanya tanpa embel-embel kata Pak.

Seperti biasa dan sudah lama seperti itu, kita akan menghapus setiap kasus kekerasan dari memori, dengan cara menyingkirkan pelaku dan memasukkannya ke dalam kotak yang kita beri label "oknum". Belum pernah terjadi, sebuah kasus kekerasan memicu hasrat massal untuk meninjau dan me-rivew sistem pendidikan nasional, apalagi mempertanyakan paradigma.

Semua kasus kekerasan di pendidikan itu, saya melihatnya sebagai kesalahan di paradigma, bahwa paradigma kita terhadap pendidikan sedang berada di titik nadir, titik yang segera akan menihilkan fungsi dari pendidikan itu sendiri dan hanya menyisakan pengajaran.

'2. Paradigma Terhadap Aturan dan Displin

Sekolah bukan surga, dan karena itu guru bukan malaikat. Hanya orangtua bodoh yang akan menyerahkan pendidikan anaknya seratus persen ke sekolah. Orangtua punya masalah, siswa banyak masalah, guru juga punya masalah, semua manusia punya masalah. Tiga pilar pendidikan itu, siswa, orangtua, dan guru, masing-masing memiliki masalah khas, dan karena itu, ketiga pilar itu wajib menjalin kerjasama yang sinergis, sehat, saling menopang dan saling mendukung, saling mengoreksi dan saling mengingatkan. Hanya dengan cara begitu siswa bisa bahagia di sekolah, guru senang dan bahagia mengajar, orangtua nyaman menunggu anaknya di rumah.

Semua sistem wajib memiliki aturan yang harus di sosialisasikan dan ditegakkan, displin yang wajib dimasyarakatkan dan diimplementasikan, oleh semua pilar pendidikan itu sendiri. Seperti apa paradigma kita terhadap sejumlah aturan yang harus ditegakkan, hal itu menjadi kata kunci bagaimana aturan itu tegak, dan bagaimana displin dibentuk.

'3. Pintu Hati dan Jeritan Hati

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun