Walau secara personal tidak pernah dituliskan bagaimana perikehidupan pribadi para aktor di Sumpah Pemuda 1928 itu, tetapi dapat dipastikan mereka adalah para petarung dan pejuang, berdaya tahan dan berdaya juang, jauh dari unsur cengeng apalagi egois, dan pasti tidak menganut budaya instan.
Budaya instan, ya, budaya yang menghancurkan semua nilai positip dari dalam diri manusia, budaya yang mengajarkan halalnya segala cara dalam mencapai tujuan, budaya yang tidak menghargai proses barang seupil saja, budaya yang bangga saat mengangkangi hak-hak orang lain.
Budaya itu berkarakter sosial, bukan personal. Jika ke-instanan sudah menjadi budaya, artinya budaya instan itu telah menjadi kebiasaan harian semua orang. Kakek-nenek, orangtua, kakak, abang, diri sendiri, tetangga rumah, tetangga RT/RW menganut budaya yang sama. Presiden, menteri, gubernur, bupati, camat, lurah, menganut budaya yang sama. Kepala sekolah, guru, murid menganut budaya yang sama.
Hiper inflasi nilai rapor adalah salah satu produk budaya instan. Proses menjadi tidak bermakna dan terabaikan, nilai rapor yang tinggi sangat dikagumi. Bertolak belakang dari apa yang ditulis oleh Victoria Fanggidae dan Samsul Rizal, nilai rata-rata nasional pada setiap Ujian Nasional semua tingkat pendidikan, saban tahun selalu diatas angka 9 dari nilai maksimum 10. Tepuk tangan yang meriah untuk kemunafikan massal ini.
Pergi ke toko buku dan lihat buku-buku yang terpajang. Kiat Meraih Nilai Tinggi, Buku Sakti Fisika, Buku Sakti Biologi, Belajar Semalam dan Meraih Nilai Tinggi, Kiat Menghadapi UN, Jurus-jurus Jitu Menghadapi SBM PTN, itu semua judul-judul yang mencerminkan budaya instan, dan karena itu sangat saya benci.
Cara Kaya Dalam Semalam, sebuah judul buku yang sengaja saya beli untuk saya bakar berikut kemasan plastiknya.
3. Paradigma
Orang Skotlandia dan orang Selandia Baru mengatakan begini : kami lebih khawatir terhadap murid yang tidak bisa mengantre dari pada khawatir kepada murid yang tidak bisa matematika. Matematika itu hanya pelajaran, tetapi mengantre itu adalah budaya. Sebagian dari murid itu nanti ada yang menjadi penari, musikus, aktor, penulis novel, pelukis, dan pemain drama, dan disitu matematika tidaklah penting-penting amat kecuali saat menghitung honor.
Tetapi "antre" itu mengajarkan banyak hal yang pasti dibutuhkan setiap orang agar dapat bertumbuh menjadi manusia beradab. Belajar menghargai hak-hak orang lain, melatih kesabaran, melatih daya tahan dan daya juang, belajar mengelola waktu, belajar memanfaatkan waktu luang, dan lain-lain hal positip yang masih banyak.
Sistem pendidikan kita jauh dari paradigma Skotlandia dan Selandia Baru. Lihat betapa sulit untuk antre, lihat bagaimana kita di jalan raya.
4. Minim Kreasi