Ketika aku berdoa meminta kekuatan, Tuhan memberikan kepadaku cobaan berat
Jika siswa remaja kita banyak yang stres saat menghadapi Ujian Nasional, sesungguhnya itu adalah berita buruk, sangat buruk, mencemaskan, sangat mencemaskan. Apa yang dapat diharapkan dari siswa yang belajar tiga tahun tetapi stres menghadapi tiga hari ujian? Tidak ada. Mengapa siswa belajar tiga tahun tetapi masih membutuhkan bimbingan belajar di luar sekolah saat menjelang UN? Mengapa sekolah yang sudah mengajari siswa selama tiga tahun tetapi masih ketakutan siswanya tidak lulus UN? Mengapa orangtua ikut-ikutan cemas saat anaknya menhadapi UN? Mengapa stres menghadapi UN tetapi tidak cemas menghadapi ujian sekolah? Mengapa UN menjadi momok sementara bentuk-bentuk ujian lainnya di sekolah tidak?
Jawaban dari semua pertanyaan di atas akan bertali-temali ke mana-mana, ke semua segi, dan akan memastikan bahwa “kita sangat tidak becus mengelola pendidikan, kita semua sebagai bangsa”. Apa pun sistem pendidikan, serta merta kita semua menemukan cara mengakali sistem, itu pokok masalah terbesar. Ketidakbecusan itu sangat kentara dan sangat gamblang. Moratorium UN tiba-tiba diapungkan, beberapa waktu kemudian ternyata UN diganti menjadi USBN (Ujian Sekolah Berbasis Nasional). Jika UN hanya mencakup beberapa bidang studi (7 bidang studi di tingkat SMA) maka USBN mencakup semua bidang studi.
Jika 7 bidang studi sudah membuat siswa stres, hanya Tuhan yang tau akibat dari USBN. Entah apalagi yang akan muncul di hari-hari ke depan, hanya Tuhan dan Pak Menteri yang tau. Ini adalah ketidakbecusan yang sudah sangat lama terjadi. Semua menteri pendidikan hanya berkutat di masalah perlu tidaknya UN. Semua menteri pendidikan berubah fungsi sekedar menteri kurikulum dan menteri UN.
Jangankan merencanakan pendidikan jangka panjang, misalnya lima tahun ke depan, bagaimana bulan depan tidak ada yang tahu. Semua bergembira terhadap moratorium UN, lalu apa selanjutnya? Tidak ada yang tahu pasti.
Ujian dalam bentuk apa pun sesungguhnya adalah sebuah sarana yang baik untuk menenamkan nilai kejujuran, meningkatkan daya juang, mempertebal daya tahan, dan menumbuhkan displin diri. Paradigma tentang ujian seperti ini akan menumbuhkan kerinduan terhadap ujian, bukan malah membuat stres. Ketika aku berdoa meminta kekuatan, Tuhan memberikan cobaan, ingat itu.
Tetapi tampaknya bagi bangsa ini, ujian melulu hanya tentang meraih nilai tinggi, dengan cara apa pun. Itu yang membuat mengapa UN menyebabkan stres tetapi ujian sekolah tidak. Inflasi nilai di rapor sudah sangat tinggi. Kelas 3 SMA jurusan IPA, nilai mata pelajaran Fisika di rapor angka 9, mengonversi satuan masih bingung, itu hal yang umum. Nilai mata pelajaran Matematika di rapor angka 9, tetapi 1/2 + 2/3 = 3/5, itu umum ditemukan. Hiperinflasi.
Moratorium UN, UN dihapus, UN diganti dengan USBN, atau apalah itu, bagi saya tidak berpengaruh terhadap apa pun. Kurikulum KTSP, kurtilas, kurtilas revisi, dan entah apa lagi nanti, saya tidak respek sedikit pun. Semua itu hanya bentuk pencitraan diri agar terlihat seolah-olah mempunyai ide (maka ganti menteri ganti kebijakan), semua itu hanya cara menghabiskan anggaran, semua itu hanya cara membagi-bagi proyek. Persetan. Entah apa kaitan menghapus UN dengan meningkatkan mutu guru, hanya Pak Menteri yang tau.
Kembali ke pertanyaan di atas, saya minta tolong ke kompasianer yang kebetulan membaca tulisan ini agar berkenan menjawab semua pertanyaan di atas dengan jujur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H