Mohon tunggu...
Jonny Hutahaean
Jonny Hutahaean Mohon Tunggu... Wiraswasta - tinggi badan 178 cm, berat badan 80 kg

Sarjana Strata 1, hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kembalilah Menjadi Bayi

26 Agustus 2016   10:01 Diperbarui: 26 Agustus 2016   10:17 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setiap bayi yang terlahir ke bumi, di tangan mereka dititipkan sekeping surga. Setiap bayi yang terlahir ke bumi, adalah anak-anak semesta yang mewakili gemerlap bintang gemintang, anggota dari semesta galaksi-galaksi. Kelahiran seorang bayi diikuti makin gemerlapnya sebuah bintang, bintang yang berada di pojok semesta entah bagian yang mana.

Ini bukan ungkapan puitis, atau pernyataan retoris, tetapi murni bersumber dari sains, terutama dari ilmu fisika kosmologi.

Asas unlokalitas di fisika mengungkapkan, bahwa jika dua partikel pernah berpasangan pada suatu masa, maka kedua partikel itu selalu saling mempengaruhi sepanjang masa, meski kini keduanya sudah dipisahkan pada jarak ribuan tahun cahaya. Sejumlah eksperimen sudah menguatkan teori ini.

Dan pada suatu masa yang sangat lalu, alam semesta berada pada satu titik tunggal singularitas, dan lantas meledak memberaikannya, ledakan yang kini dikenal sebagai “big bang”. Jadi, pada masa yang sangat lampau, semua partikel penyusun alam semesta berada pada titik tunggal.

Maka mudah memahami bahwa setiap partikel di tubuh kita berkaitan dan berhubungan dengan partikel lainnya, yang mungkin berada di seberang galaksi Bima Sakti, tempat bumi yang kita huni itu berada dan eksis.

Karena di tangan setiap bayi yang baru lahir dititipkan sekeping surga, maka tugas kita sebetulnya hanya mendidik mereka sehingga mampu dan mau menyatukan sekeping surga di tangannya dengan sekeping surga di tangan bayi lainnya, itu membuat mereka tumbuh dan berkembang dalam suasana surgawi.

Itu yang tidak kita lakukan, yang kita lakukan justru membuat banyak bayi-bayi surgawi itu tumbuh di dalam kondisi mencekam dan menakutkan. Itulah dosa terbesar kita, kita orang-orang dewasa ini.

Setiap bayi yang baru lahir mewakili gemerlap sebuah bintang, semestinya mereka dapat tumbuh, berkembang dan menjadi bintang. Tetapi, kita orang dewasa, entah sebagai apapun kita, sebagai bapak/ibu, sebagai guru, sebagai menteri pendidikan, sebagai presiden atau apapun itu, sering yang kita lakukan adalah memadamkan gemerlap bintang pada bayi yang terlahir itu. Bahkan, kita lakukan itu dengan alasan cinta dan sayang, kita sungguh munafik.

Kita berikan mereka cinta yang mengerangkeng, cinta yang menggenggam, cinta yang memenjarakan. Pada hal mereka membutuhkan cinta yang membebaskan, cinta yang mendorong, cinta yang memotivasi, agar cahaya bintang di dalam diri mereka semakin cemerlang.

Kini saya menjadi lebih paham maksud dari sabda sebait firman : “kalau hendak ke surga, kita harus kembali menjadi seperti bayi”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun