Perempatan jalan raya semestinya dapat menjadi ranah untuk study sosial budaya. Tapi tampaknya para budayawan atau sosialiawan enggan menjadikannya sebagai wilayah kajian sosial, kemungkinan besar dikarenakan akan menuju ke kesimpulan yang “MEMALUKAN” bangsa.
Perempatan jalan raya, saat lampu lalu-lintas ngadat, tidak ada polisi sungguhan atau polisi cepek, gerimis sedang turun pula, sangat kapabel menjadi wilayah study sosial tentang karakter dasar masyarakat all in (semua pejabat adalah juga masyarakat), dan yang saya amati dan saya alami adalah di Jakarta.
Gerobak dan sedan mewah Bentley, sepeda motor dan Mercedes terbaru, angkot dan camry, sedan butut dan BMW, andong dan truk, bemo dan kontainer, suka atau benci pada saat tertentu harus melintasi perempatan jalan raya. Semua jenis transportasi itu menjadi setara dan sederajat.
Tukang gerobak dan professor, maling dan polisi, supir angkot dan doktor, pengedar dan pecandu narkoba, lelaki hidung belang dan WTS, buruh dan pengusaha, politikus dan tikus, pejabat dan pembabat, semua sederajat dan setara, saat melintasi perempatan jalan raya seperti situasi yang disebutkan di atas.
Pada saat itu dapat dipastikan, bukan hanya macet atau macet total, tetapi lalu lintas menjadi stagnan. Semua menghalangi semua, semua berusaha mendahului semua, semua menyalahkan semua, semua harus menjadi yang terdahulu, tidak ada bahkan hanya satu orang sajapun yang berniat mengalah. Berlakulah prinsip “daripada lhu mendahului gue, lebih baik gue tutup jalan lhu. Daripada lhu mendahului gue, lebih baik kita sama-sama berhenti di sini”. Prinsip yang dipegang teguh binti konsisten oleh semua orang di situ, entah tukang gerobak atau professor, entah maling atau polisi, entah supir angkot atau doktor, entah siapa saja itu. Lebih baik berhenti total daripada ada yang mendahului.
Bukankah ini dapat menjadi kajian menarik?.
Pepatah mengatakan begini : “pendidikan adalah apa yang tersisa saat semua yang kau ketahui kau lupakan”. Lupakan bahwa kau professor, lupakan bahwa kau pejabat teras, lupakan bahwa kau pengusaha, menjadi seperti apakah engkau itulah hasil pendidikanmu.
Itulah yang terjadi di perempatan jalan raya saat situasinya seperti yang disebutkan di atas. Saat itu professor lupa bahwa dia professor, doctor lupa bahwa dia doctor, pengusaha lupa bahwa dia pengusaha, lantas seperti apa semuanya di perempatan jalan raya itu, itulah hasil dari pendidikan mereka, dan karena itu hasil dari pendidikan nasional kita.
Bukankah ini sangat menyedihkan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H