Kalau pemerintah mengatakan bahwa profesi guru itu adalah profesi terhormat dan mulia, pemerintah berbohong. Buktinya, tidak ada pejabat pemerintah yang mendorong anaknya agar menjadi guru.
Kalau dokter spesialis berkata dengan wajah terharu sambil meneteskan air mata, saya bisa seperti sekarang ini adalah karena guru, maka dia sedang bersandiwara karena sedang disorot TV. Tidak ada dokter spesialis yang mendorong anaknya agar menjadi guru.
Pada hari guru, sejumlah insinyur yang sukses menduduki jabatan tinggi di pemerintahan, serentak seperi sudah dikomando berkata “kami seperti sekarang ini adalah karena guru”, ahaaaa …. itu hanya ucapan ke media. Buktinya, siapakah di antara mereka yang mendorong anaknya agar menjadi guru?
Pedagang sukses di kampung saya berkata begini ke anaknya, “nak, kalau kau tidak diterima di fakultas kedokteran PTN, yak au pilih ke swasta saja ya, asal tetap fakultas kedokteran”.
Pada hari guru, mulai dari Presiden sampai Camat pasti memuji-muji profesi guru setinggi langit. Mulia, terhormat, abadi sebab tidak ada bekas guru, begitulah embel-embel disematkan. Tetapi semua berbohong, tidak satupun diurutkan mulai dari presiden sampai camat yang mendorong anaknya agar menjadi guru.
Pada hari guru, semua politikus, yang senior atau yang junior, politikus kader atau karbitan, semua pasti memuji profesi guru setinggi langit ketujuh. Pada hal semua berbohong, tidak ada di antara mereka yang mendorong anaknya agar menjadi guru.
Anak dari teman saya selalu berada pada peringkat 10 besar di SMA unggulan. Ketika anaknya itu hendak memilih Perguruan Tinggi keguruan, teman saya berkata begini : “aduh nak, sayang sekali. Kau kan anak cerdas, buktinya selalu masuk peringkat sepuluh besar. Kau pilih fakultas teknik ya nak”.
Dan ketika saya berdiri di ruang kelas bertanya “siapa yang akan memilih keguruan tolong tunjuk tangan”, tidak satupun tangan teracung.
Ketika arisan, seorang ibu menceritakan anaknya yang kuliah di fakultas kedokteran denga berapi-api dan meluap-luap dipenuhi kebanggaan. Ibu yang lain memilih diam menjadi pendengar saja, karena anaknya sedang kuliah hanya di Perguruan tinggi keguruan (dahulu disebut IKIP).
Kalau berpeluang diterima di PTN fakultas non pendidikan, semua siswa SMA pasti tidak memilih jurusan kependidikan.
Kalau tidak berpeluang diterima di PTN jurusan non kependidikan tetapi orangtuanya kaya, maka siswa SMA akan memilih ke PTS Fakultas Kedokteran atau Fakultas Teknik. Fakultas Kedokteran dan Fakultas Teknik di PTS tetap diserbu calon mahasiswa. Tetapi sangat sedikit PTS yang membuka jurusan kependidikan.
Kalau tidak berpeluang diterima di PTN jurusan non kependidikan, dan orangtua berpenghasilan pas-pasan saja sehingga tidak mungkin ke PTS, apa boleh buat, ya dipilihlah PTN jurusan kependidikan.
Bahkan tidak ada guru di Perguruan Tinggi. Dosen tidak rela disebut guru, kecuali ditambahkan dengan kata besar menjadi guru besar.
Begitulah sesungguhnya profesi guru itu. Memang ada yang tulus ikhlas berkehendak menjadi guru, tetapi jumlah orang seperti itu seupil saja.
Yang betul profesi guru itu adalah keranjang sampah. Murid tawuran di luar sana, guru yang disalahkan. Murid tinggal kelas, guru yang dimaki-maki. Nilai UN murid rendah, guru ditegur. Guru tegas berdisplin dituduh melanggar HAM. Nilai ujian murid rendah, guru menjadi kambing hitam. Nilai rapor murid merah, guru yang menjadi kambing congek. Guru menghukum siswa dituduh sadis tidak berperikemanusiaan. Murid nakal, guru yang salah.
Dan itulah sebabnya, bangsa ini sulit sekali untuk maju. Lihat, di semua negara yang maju, mereka mengawalinya dengan cara memuliakan profesi mulia, GURU. Di negara maju, menjadi guru adalah pilihan nomor satu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H