Orang yang mengharapkan Kota Jakarta dapat bebas dari banjir perlu melongok kembali ke hukum alam, bahwa air akan selalu mengalir mencari tempat terendah. Di dalam hukum dasar fisika termaktub bahwa semua materi selalu menyusun diri sedemikian sehingga sistem tersebut memiliki energi potensial terendah. Karena air bersifat cair, maka mengalir ke tempat yang lebih rendah adalah kodrat air. Itu tak mungkin diubah, kecuali dengan cara menambahkan energi agar dengan sendirinya air dapat mendaki gunung.
Jakarta berada di dataran rendah, hanya 2-3 m di atas permukaan laut. Maka hukum alam memaksa Jakarta harus menerima limpasan air dari semua tempat yang lebih tinggi di sekelilingnya. Tak ada apapun yang dapat dilakukan oleh siapapun untuk mengubah itu. Tetapi kita diberikan otak dan kecerdasan untuk mengelola dan mengendalikan aliran air, hanya saja lebih sering otak itu entah ditaruh di mana.
Kalau orang yang tinggal di Kelapa Gading berteriak “rumahku kebanjiran”, mungkin otak orang itu sudah tertinggal entah di mana. Dari sejak dahulu kala, Kelapa Gading itu dataran rendah dan menjadi sudah menjadi tempat persinggahan air sebelum menuju ke laut. Itu sebelum anda ke sana membangun rumah. Kalau orang-orang di Kelapa gading berteriak “air membanjiri rumahku”, mereka salah. Yang benar seharusnya air yang berteriak begini :”tempatku kebanjiran rumah”. Yang memilih tinggal di Kelapa Gading, anda seharusnya menghormati air yang membanjiri rumahmu, berikan keleluasaan agar air yang pemilik asli tempat itu dapat berkeliling meninjau tempat tradisionalnya. Begitu sikap yang benar sebagai tamu.
Hampir semua tempat persinggahan air menuju ke laut sudah dibanjiri rumah, kasihan air itu.
Di pintu air Manggarai, di situlah tempat tersangkutnya seluruh sampah yang dibuang ke Sungai Ciliwung. Ada kasur bekas, lemari bekas, meja bekas, mayat manusia dan binatang, komputer PC bekas. Sepatu, celana, celana dalam, BH, dan baju yang semuanya bekas ada juga tersangkut di sana. Kalau mau melihat dan memahami betapa dungunya orang-orang Jakarta, berkunjunglah ke pintu air Manggarai.
Tidak seharusnya anda semua yang tinggal di bantaran kali Ciliwung berteriak dan menyalahkan pemerintah, saat rumah anda disapu bersih oleh luapan air. Pertama, Undang-undang melarang anda tinggal di bantaran kali, tetapi anda melanggarnya. Kedua, Undang-undang melarang anda membuang sampah ke sungai, tetapi anda melanggarnya. Jadi, ya …. begitulah, … dan terima nasib.
Orang-orang Jakarta itu berotak semen, segala sesuatu langsung disemen. Hari ini pemerintah membangun saluran got di sisi kiri-kanan jalan, besok warga sekitar langsung menutup bagian atas got dengan semen beton, semua melakukannya. Jadi saat hujan, tidak ada jalan bagi air untuk masuk ke got, maka bersantailah air itu di jalan raya menunggu waktunya pergi ke laut. Jalanan banjir, got kering. Tetapi tetap saja pemerintah yang salah.
Entah kemana otak dari orang yang membangun rumah permanen dua lantai di bantaran kali dengan sebagian rumahnya menjorok ke atas kali. Bantaran kali adalah tanah milik negara. Ketika negara hendak mengambil kembali hak miliknya yang sudah dikangkangi puluhan tahun, orang itu protes dan meminta ganti rugi satu miliar rupiah seolah-olah tanah itu warisan nenek moyangnya. Hebat bukan?. Dan ketika banjir menerjang, yang salah adalah pemerintah.
Dan betul juga, pemerintah salah. Entah apa sebabnya pemerintah membiarkan okupasi lahan negara selama puluhan tahun. Atau bahkan mungkin pemerintah mengijinkannya, atau ada oknum yang membisniskannnya untuk keuntungan pribadi dan kesejahteraan seluruh keturunan nenek moyangnya. Banyak rumah di bantaran kali yang mendapatkan sambungan listrik dari PLN dan PAM secara resmi (banyak juga yang mencuri). Itu artinya PLN dan PAM yang perusahaan milik negara mengakui hak tinggal dari orang tersebut.
Dan itu berlangsung sudah setengah abad. Jika kau mengontrak dan tinggal hanya di satu rumah selama setengah abad, kau akan merasa rumah kontrakan itu seperti milikmu sendiri. Saat pemilik rumah meminta kau pindah dengan tidak memperpanjang kontrak, akan ada persoalan psikologis yang muncul. Kecenderungannya adalah kau akan merasa terusir.
Maka banjin di Jakarta adalah karena dua hal. Pertama, karena hukum alam. kedua, karena karakter orang-orang di Jakarta. Alasan pertama tidak bisa diganggu-gugat. Melawan hukum alam adalah melawan Tuhan. Kita hanya dapat mengelola yang kedua, itu jika memang kita mau.
Kini banyak muncul ide untuk mengakali hukum alam. Tanggul raksasa, Sodetan, Turapan, Waduk, dan lain-lain, itu baik dan bagus. Tetapi seyogianya diselesaikan dulu masalah kedua, karakter orang-orang Jakarta yang doyan buang sampah sembarangan, yang berotak semen, yang doyan menyerobot lahan tangkapan air, dan ke-doyan-doyanan lainnya.
Lalu, apa solusinya?.
Ya saya tidak tahu, dan saya tidak mau sok tahu. Kalau saya tahu, saya sudah mendaftar jadi calon gubernur saat pilkada tahun lalu.
Jadi? …… sekarang saya mau tidur saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H