Ibu Menteri Susi Pudjiastuti menjadi yang paling disorot, disebabkan karena Ibu itu tidak tamat SMA. Selain karena bertato dan merokok tentunya.
Sorotan dan kerutan di kening akibat ketidaktamatan Ibu Susi dari SMA sesungguhnya adalah cerminan kesalahan paradigma pendidikan nasional. Kesalahan paradigma itu adalah menyamaratakan antara “pendidikan” dengan “persekolahan”. Tengoklah pada semua dokumen yang perlu diisi, pilihan untuk tingkat pendidikan adalah “Tamat SD, Tamat SMP, Tamat SMA, Strata-1, Strata-2, Strata-3”. Padahal persekolahan itu mencakup hanya sepertiga dari aspek kehidupan, sementara pendidikan mencakup keseluruhan aspek kehidupan.
Mengapa begitu?, ya itu karena anak-anak hidup pada tiga habitat. Habitat sekolah, habitat rumah, dan habitat lingkungan.
Itulah mengapa banyak koruptor yang adalah orang yang saat disekolah adalah murid cerdas dengan prestasi akademik magna cumlaude, cerdas di persekolahan tetapi tamak dan bejad di kehidupan di luar sekolah.
Mungkin itu pula sebabnya mengapa professor ekonomi dan bisnis hampir pasti tidak menjadi pebisnis atau pengusaha. Profesor itu hanya professor persekolahan (atau perpustakaan dan perbukuan) tetapi bukan professor kehidupan. Profesor ekonomi dan bisnis paling banter akan menjadi karyawan atau tenaga konsultan bagi professor kehidupan (pebisnis atau usahawan).
Tampaknya di Indonesia ini berlaku adagium bahwa semakin tinggi persekolahan seseorang, maka semakin besar uang yang dapat dikorupsi, pada saat kesempatan untuk melakukan korupsi itu datang menghampiri. Cermatilah data-data pribadi koruptor, ya memang begitu kenyataannya. Apakah persekolahan kita itu telah menjadi kawah candradimuka untuk koruptor?, mari kita renungkan bersama-sama ya. Jangan-jangan kita akan sampai pada suatu umpatan: “persetan dengan sekolah”. Semoga tidak sampai begitu.
Kembali ke Ibu Susi Pudjiastuti. Ketidaktamatan beliau dari persekolahan tingkat SMA tidak melanggar apapun persyaratan administratif. Tengoklah syarat untuk menjadi anggota DPR Pusat dan syarat menjadi Presiden yang dibuat oleh KPK (dan menjadi UU), syarat pendidikan minimal adalah tamat SMA atau yang sederajat. Kalau syarat pendidikan minimal untuk presiden adalah tamat SMA atau yang sederajat, maka tidak salah kalau syarat pendidikan minimal untuk menteri lebih rendah dari presiden, yaitu minimal tamat SMP atau yang sederajat. Bukankah begitu yang logis?.
Tetapi memang ada juga keanehan lainnya. Syarat pendidikan untuk dapat menjadi guru SMA adalah minimal sarjana, sementara hanya tamat SMP saja sudah boleh menjadi menteri. Tetapi ya begitulah.
Bagi manusia yang doyan berpikir negatif, keberadaan Ibu Susi sebagai Menteri dapat menjadi alasan untuk mengatakan “ngapain kalian belajar, tidak tamat SMA-pun kamu bisa menjadi menteri”, atau “untuk apa saya susah-susah belajar, tidak tamat dari SMA-pun saya bisa menjadi menteri”. Dasar manusia yang selalu berpikiran jorok ya memang begitulah, dia pikir Ibu Susi menjadi Menteri adalah karena tidak tamat SMA, tolol kan?.
Saya bermimipi menjadi presiden, dan ternyata yang saya pilih untuk menjadi anggota cabinet saya adalah ya orang-orang seperti Ibu Susi, orang-orang yang lulus dari Universitas Kehidupan.
Gelar-gelar akademik setinggi apapun itu, hanya menunjukkan bahwa yang empunya gelar sudah lulus dari sebuah gedung, sebuah gedung SD, sebuah gedung SMP, sebuah gedung SMA, sebuah gedung Universitas, hanya itu.
Kita membutuhkan professor kehidupan.
Selamat bekerja kepada Ibu Susi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H