Ekskursi ke Pondok Pesantren Bina Insan Qurani Insani di Cirebon menjadi perjalanan yang tak terlupakan bagi saya. Selama tiga hari dua malam, kami, para siswa, meninggalkan kenyamanan rumah dan rutinitas sekolah untuk menyelami kehidupan di pesantren. Kami memulai perjalanan dengan semangat tinggi, meskipun tak sedikit dari kami merasa canggung karena kurang familiar dengan lingkungan pesantren. Begitu tiba, suasana sederhana langsung terasa---dari bangunan yang bersahaja hingga senyum ramah para santri yang menyambut kami. Di sana, kami tidak hanya belajar tentang Islam dari buku, tetapi juga melalui pengalaman langsung, diskusi, dan interaksi yang mengubah perspektif kami.
Pondok pesantren itu terletak di lingkungan yang asri, jauh dari hiruk-pikuk kota. Bangunan-bangunan sederhana berdiri dengan dominasi warna putih dan hijau, memberikan kesan damai yang selaras dengan udara segar khas pedesaan. Para santri tinggal di asrama yang terorganisasi rapi, meskipun fasilitasnya sangat minimalis. Di sudut pesantren terdapat mushola dengan dinding yang dihiasi kaligrafi ayat suci Al-Qur'an, tempat yang menjadi pusat kegiatan keagamaan mereka. Selama berada di sana, saya melihat bagaimana santri menjalani rutinitas harian mereka dengan penuh disiplin, mulai dari shalat subuh berjamaah hingga kegiatan belajar di kelas. Semua itu dilakukan dengan suasana yang penuh keikhlasan, mencerminkan kedalaman iman dan semangat mereka dalam menuntut ilmu.
Salah satu momen yang paling berkesan adalah diskusi dan sesi berbagi dengan para santri. Dalam empat diskusi yang diadakan, saya dan teman-teman diajak berbicara tentang kehidupan mereka, nilai-nilai yang mereka pelajari, serta bagaimana mereka memandang hubungan antaragama. Saya sempat terkejut dengan keterbukaan mereka. Mereka menjelaskan pentingnya toleransi dengan penuh keyakinan, bahkan mengutip hadis-hadis dan kisah Nabi Muhammad SAW yang menekankan kedamaian dan saling menghormati. Salah satu santri berkata, "Hidup berdampingan itu seperti kita membangun jembatan, bukan tembok," yang membuat saya merenung tentang bagaimana kita sering kali lebih fokus pada perbedaan daripada persamaan.
Selain diskusi, kami juga mengunjungi museum yang terletak tidak jauh dari area pesantren. Museum tersebut menyimpan berbagai artefak sejarah Islam di Cirebon, termasuk manuskrip kuno, pakaian tradisional ulama, dan replika masjid bersejarah. Dengan panduan seorang ustaz, kami diajak memahami lebih dalam perjalanan panjang Islam di Nusantara, khususnya peran para wali dalam menyebarkan agama ini. Ruangan museum yang sederhana, dengan pencahayaan lembut dan aroma kayu tua, menciptakan suasana reflektif yang membawa saya ke masa lalu. Dalam kunjungan itu, saya belajar bahwa Islam di Indonesia adalah Islam yang penuh dengan harmoni budaya, yang menghargai adat lokal tanpa kehilangan esensinya.
Pengalaman ini menyadarkan saya bahwa pendidikan tidak hanya tentang teori, tetapi juga tentang memahami realitas dan membangun empati. Ekskursi ke pesantren ini, menurut saya, merupakan salah satu cara efektif untuk mengajarkan nilai-nilai toleransi kepada generasi muda. Ketika kita mengenal lebih dekat kehidupan orang lain, kita cenderung lebih memahami dan menghormati mereka. Sebaliknya, ketidaktahuan sering kali menjadi akar dari prasangka dan konflik. Sebagaimana yang pernah diungkapkan Nelson Mandela, "Education is the most powerful weapon which you can use to change the world." Dalam konteks ini, pendidikan bukan hanya soal membaca buku atau mengikuti ujian, tetapi juga tentang melibatkan diri dalam pengalaman yang memperluas pandangan kita.
Pada malam terakhir di pesantren, kami berkumpul bersama para santri untuk sebuah acara penutup. Dalam suasana yang hangat, kami berbagi cerita, menyanyikan lagu, dan saling bertukar kenangan. Saya merasa begitu terhubung dengan mereka, meskipun baru tiga hari mengenal. Salah satu santri bahkan memberi saya sebuah buku kecil berisi doa sehari-hari, yang katanya bisa menjadi pengingat tentang pesantren dan persahabatan kami. Saat kami meninggalkan pesantren keesokan harinya, ada rasa haru yang sulit diungkapkan. Pengalaman ini meninggalkan kesan mendalam yang akan selalu saya bawa.
Melalui ekskursi ini, saya menyadari bahwa toleransi adalah kemampuan yang perlu terus diasah. Tidak cukup hanya memiliki pemahaman teori bahwa keberagaman itu penting; kita perlu menjalani pengalaman langsung untuk benar-benar memahaminya. Bertemu dengan para santri yang hidup dalam budaya dan tradisi yang berbeda dari saya telah memberikan pelajaran berharga tentang saling menghormati. Jika program seperti ini diterapkan secara lebih luas, saya yakin generasi muda Indonesia akan lebih siap menghadapi keberagaman dengan sikap yang inklusif dan penuh penghargaan. Program ini juga bisa menjadi langkah konkret dalam meminimalisir potensi konflik yang sering muncul akibat stereotip dan prasangka.
Seperti yang pernah dikatakan oleh Gus Dur, "Tidak penting apapun agamamu atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan pernah bertanya apa agamamu." Ekskursi ini mengajarkan saya tentang makna mendalam dari ucapan tersebut. Keragaman bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, melainkan dirangkul sebagai kekayaan bangsa. Saya menyadari bahwa toleransi bukan hanya konsep, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata.
Di bumi hijau aku belajar,
Toleransi adalah jembatan,
Menghormati tanpa prasangka,
Merangkul tanpa batasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H