Saya dan sebagian besar teman SMAN 4 Jakarta tahun 1980 mencintai matematika melebihi mata pelajaran lain. Dan sebagian besar kami merasa belajar matematika dengan baik.
Cinta pada matematika itu berasal dari Pak Fadjar Nasution, guru matematika pada SMAN 4 ketika saya sekolah di sana 36 tahun yang lalu. Dia mengajarkan matematika dengan caranya sendiri, sehingga matematika masuk ke otak saya dan teman-teman seperti belajar berjalan kaki atau belajar memasak. Tak banyak kesulitan. Dan pasti bisa.
Hingga kini saya mencintai matematika walaupun ilmu itu tidak banyak dipakai dalam kehidupan sehari-hari lagi. Saya masih ingat bilangan faktorial yang ajaib itu. Atau bilangan dasar 10 atau bilangan dasar 7 atau angka lain. Atau matrix. Atau persamaan dengan dua anu. Hidup kadang-kadang terasa mudah dengan banyak mengetahui matematika.
Bagaimana Pak Fadjar mengajar sehingga kami jatuh cinta pada matematika? Susah dijelaskan. Tapi kami hanya merasakan, matematika menjadi kegemaran sebagian murid Pak Fadjar.
Guru tambun ini batak asli, sesuai dengan namanya, Fadjar Nasution. Tapi, dia Batak halus seperti Rinto Harahap atau Charles Hutagalung. Suaranya pelan. Omongnya sedikit. Tapi tegas. Penjelasannya mudah dicerna. Sekali menjelaskan, kami paham.
Kalau mengajar tak banyak cakap. Begitu masuk kelas, langsung menjelaskan materi baru. Terus ngasih soal. Setelah itu, dia meninggalkan kelas karena banyak pekerjaannya sebagai wakil kepala sekolah. Anehnya, tak ada teman yang ribut –padahal aslinya kami semua adalah biang ribut di kelas dan sekolah, seperti terlihat jika guru lain yang mengajar.
Kami tak ribut karena takut pada Pak Fadjar yang tegas. Dia hanya mengatakan, silakan kerjakan tugas, dan jangan ada yang nyontek. Tuhan melihat kalau Anda menyontek, kata Pak Fadjar. Kami mematuhinya. Semua anak. Termasuk yang paling nakal sekali pun.
Barangkali kami menghormatinya karena sikap jujur dan terbukanya. Ketika baru masuk kelas 1, dia dengan ringan mengatakan: jumlah kelas 1 di SMA4 ada 12 kelas. 4 kelas masuk karena menyogok, 4 kelas karena titipan pada guru, dan 4 kelas lagi masuk murni karena bernilai bagus. Artinya, sebanyak 8 kelas masuk SMAN4 melalui koneksi. Entah benar atau tidak cerita beliau seperti itu, sesungguhnya kami tak tahu. Mungkin sekedar gertak agar kami tahu diri.
Walaupun dia tahu pasti siapa yang menyogok, siapa yang titipan, siapa yang murni, dia tak membeda-bedakan muridnya. Cuma kita-kita udah keder dengar ceritanya seperti itu.
Jika bel berakhir belajar berbunyi, jangan sekali-sekali melipat buku ketika dia masih menerangkan. Dia dengan santai memanggil anak yang melipat buku, dan merobek buku anak itu sambil berkata dengan suara tenangnya: kita harus menjaga hablum minanas (hubungan baik sesama manusia). Jadi, kita tambah takut deh sama dia.
Singkat cerita, mutu SMAN4 ketika itu, yang sangat baik. Saya kira mutu baik itu karena ada guru seperti Pak Fadjar. SMAN4 ketika itu menjadi salah satu sekolah favorit di Jakarta. Hampir semua anak pejabat dan anak pengusaha besar ber-SMA di sini, termasuk anak pintar dari berbagai SMP yang menjadi rayonnya.
Kini tahun 2012, seperti Ramadan tahun-tahun sebelumnya, alumni SMAN 4 yang lulus tahun 1980 mengumpulkan uang untuk menyampaikan rasa berterima kasih kepada Pak Fadjar dan guru lain. Tahun ini terkumpul hampir Rp 50 juta. Kami mengantarkan uang itu ke rumah Pak Fadjar yang sudah tua, tapi semangat masih tampak menyala di wajahnya. Juga ke rumah guru lain. Setiap guru kebagian Rp 2 juta. Tidak banyak. Tapi cukup membuat kami gembira, dan Pak Fadjar juga senang bisa melihat anak didiknya masih ingat beliau yang sudah duduk di kursi roda.
Setiap bertemu, Pak Fadjar selalu berkata: maafkan kalau dulu dia punya kesalahan dan kasar pada kami. Permintaan maaf itu diucapkannya setiap ketemu. Jadi, kami sudah mendengarnya belasan kali. Minimal kami mendengar setahun sekali. Padahal, tak ada di antara kami yang menganggap Pak Fadjar punya kesalahan dan kasar.
Bahkan kami merasa berutang budi pada Pak Fadjar karena telah mendidik kami menjadi seperti sekarang, dan mencintai matematika. Utang itu rasanya belum lunas juga kami bayar, dan kami yakin tak akan pernah lunas membayar utang kepada Pak Fadjar, dan juga guru lain.
Nah, sekarang saya tak tahu, apakah ada guru sehebat Pak Fadjar Nasution dalam mengajarkan cinta pada matematika. Yang mengajarkan matematika seperti mengajar berjalan atau bermain bola. Sekali diajarkan langsung bisa. Semoga banyak guru yang baik seperti Pak Fadjar saat ini.
Tahun depan kami akan ke rumah Pak Fadjar lagi. Tunggu kami, Pak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H