Mohon tunggu...
Jonminofri Nazir
Jonminofri Nazir Mohon Tunggu... Jurnalis - dosen, penulis, pemotret, dan pesepeda, juga penikmat Transjakrta dan MRT

Menulis saja. Juga berfikir, bersepeda, dan senyum. Serta memotret.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Satinah, Warga Negara dan Cara Berfikir SBY

27 Maret 2014   23:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:23 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya kaget membaca berita tentang Satinah di Kompas, 26 Maret 2014. Berita itu membuat saya berfikir: apa kewajiban negara terhadap warga negara yang sedang bermasalah di luar negeri?

Satinah adalah warga negara Indonesia, sama dengan SBY, Bu Ani, saya, dan 200 juta warga negara Indonesia lainnya. Ia  warga Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Sutinah bekerja di Arab Saudi sebagai Tenaga Kerja Wanita. Ia didakwa membunuh majikan dan mengambil hartanya. Di pengadilan Arab Saudi, Satinah telah mengakui perbuatannya. Ia telah dipenjara sejak 2009 dan telah mengalami tiga kali penangguhan hukuman mati. Keluarga korban meminta tebusan sebesar 7,5 juta riyal atau setara Rp 21 miliar.

http://nasional.kompas.com/read/2014/03/26/1242297/SBY.Apakah.Negara.Harus.Menanggung.Biaya.Pembebasan.Satinah.

Beberapa butir penting dalam berita itu adalah, dan akan saya beri komentar di bawahnya:

ButirPertama

·Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono mempertanyakan desakan terhadap pemerintah untuk segera membayar diat atau uang tebusan kepada keluarga korban pembunuhan yang dilakukan tenaga kerja Indonesia bernama Satinah binti Jumadi di Arab Saudi. Menurut Presiden, permintaan itu harus dipikirkan dengan matang karena negara juga harus memperhatikan keadilan bagi rakyat di dalam negeri.

Saya kira komentar Presiden SBY ini tidak pantas. Sebab, tugas negara –dan SBY adalah kepala negara— adalah melindungi warga negara dari rasa takut, rasa lapar, dan tidak aman; termasuk dari hukuman mati yang ditimpakan kepadanya kendati dia bersalah. Apalagi Satinah belum tentu bersalah jika kita mempercayai penjelasannya.

Sebagai kepala negara mestinya SBY membebaskan rasa takut yang ada pada Satinah dari ancaman akan dipancung. Caranya adalah dengan membawa Satinah segera –bahkan dengan sangat segera—ke tanah air.Langkah ini mudah sekali ditempuh dalam perkara Sutinah. Karena system hukum Arab Saudi memungkinkan terhukum mati dibebaskan dengan mebayar diyat, dalam hal ini Rp 21 miliar.

Uang Rp 21 miliar tidak banyak jika ditukar dengan nyawa seorang warga negara Indonesia di luar negeri. Negara dengan mudah mengumpulkan uang sebanyak itu.

Kita harus banyak belajar dari Amerika Serikat dan Israel dalam membela warga negaranya. Juga Australia. Sudah banyak contoh soal ini. Misalnya, seperti yang digambarkan dalam film Platoon: negara menyiapkan tim khusus untuk menyelamatkan seorang prajurit. Bahkan untuk menyelamatkan seorang prajurit, taruhannya adalah nyawa tentara yang lain.

Begitu juga dengan Israel. Negara ini ngotot sekali meminta warga negaranya yang ditahan oleh Palestina. Bahkan warga negara yang telah wafat pun mereka minta tulang belulangnya dan mereka bawa ke negara mereka.

Begitu juga Austrila dalam mebela Corby, terhukum kasus narkoba di Bali, yang menghebohkan baru-baru ini. Hasilnya adalah Corby bebas bersyarat, hidup di luar penjara.

Satinah mestinya mendapat perlakuan begitu. Dia warga negara seperti SBY dan seperti kita juga. Dia harus segera dibawa pulang dan kumpulkan bersama keluarga mereka.

Saya kira jika SBY membayar Rp 21 miliar tidak ada warga negara yang merasa diperlakukan tidak adil. Ini soal nyawa warga negara yang tidak bisa diukur dengan nilai uang.

Butir Kedua:

·"Ini sedang kami negosiasikan urusan Satinah, (diat) mencapai di atas Rp 21 miliar. Rakyat harus tahu, apakah negara harus menanggung terus? Puluhan miliar dikeluarkan. Bagaimana keadilannya dengan rakyat di dalam negeri? Mari bicarakan baik-baik," kata Presiden saat membuka rapat terbatas di kantor kepresidenan, Rabu (26/3/2014).

Komentar

Mestinya negosiasi sudah lama diselesaikan karena kasus ini sudah ada sejak beberapa tahun yang lalu. Selama ini negara ke mana saja? Mengapa pemerintah membiarkan seorang warga negara menderita begitu lama di penjara negara lain? Bertahun-tahun!

Jadi, saat ini, bukan waktu untuk negosiasi lagi. Sekarang adalah waktunya untuk SBY mengirim tim ke Arab Saudi menjemput Satinah dan mengembalikan dia ke keluarganya. Itulah kebahagiaan tertinggi bagi Satinah, warga negara Indonesia.

Apakah dengan membayar Rp 21 Miliar akan mengganggu rasa keadilan rakyat di dalam negeri?

Saya kira SBY perlu belajar tentang ‘adil’ lebih banyak. Adil itu bukan sama rata sama rasa. Atau dia dapat saya juga dapat. Saya kira adil itu adalah warga negara mengapatkan haknya sesuai dengan undang-undang/hukum/nilai/etik, dan lain-lain. Saat ini, Satinah membutuhkan rp 21 miliar. Jika dia mendapatkan uang itu, sehingga dia bebas dari hukuman pancung, itulah keadilan bagi Satinah.

Saya kira tidak ada warga negara yang akan protes jika SBY membawa pulang Satinah setelah membayar Rp 21 miliar.

Butir ketiga

·Presiden mengatakan, pemerintah saat ini berusaha keras untuk membebaskan Satinah dari hukuman mati. Namun, Presiden juga meminta agar para tenaga kerja Indonesia (TKI) menjaga perilakunya agar tidak sampai terkena perkara hukum.

Komentar:

Tidak jelas bentuk kerja keras pemerintah membebaskan Satinah. Mengirim surat ke pemerintah Arab Saudi, bukan kerja keras. Itu namanya kerja santai. Sebab, tidak menghasilkan solusi yang cepat. Bagaimana kalau raja Arab Saudi menjawab dengan surat pula? Apalagi surat diplomatik, butuh waktu lama sampai ke tangan penerima.

Kita bisa bilang SBY kerja keras, jika dia langsung terbang ke Arab Saudi menjemput Satinah, kalau SBY tak mau membayar Rp 21 Miliar.

Dengan melihat cara befikir Presiden SBY saya ragu dia memikirkan warga negara selama 10 tahun dia memerintah. Untung dia tidak bisa maju lagi sebagai calon presiden.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun