Lembaga Survei Indonesia (LSI) memperkirakan perolehan suara pada Pilkada DKI putaran kedua akan berlangsung ketat. Dua pasangan diperkirakan akan mendapatkan suara dengan perbedaan tipis. Hasil survey LSI menunjukkan Jokowi mendapat suara 44,1 persen. Unggul 0,1 persen dari Fauzi Bowo yang mendapat 44 persen. 11,9 persen responden tidak menjawab atau menjawab tidak tahu. Pada pertanyaan dengan hanya dua calon gubernur saja, Fauzi Bowo justru unggul dengan memperoleh suara 45,3 persen. Jokowi mendapat 44,8 persen. Sedangkan responden yang tidak menjawab atau menjawab tidak tahu, 9,9 persen. (Liputan6.com)
Walaupun ini hanyalah hasil survei, tidaklah menjadi kepastian bahwa pasangan yang unggul akan otomatis menang dalam putaran kedua nanti. Berpengalaman pada hasil putaran pertama, hasil lembaga survei berbeda dengan hasil akhir penghitungan suara KPU Jakarta.
Namun dengan gambaran hasil survei  yang selisihnya beda tipis ini, sangat berpotensi menimbulkan sengketa. Karena ada pihak yang tidak siap kalah akan mengajukan gugatan ke MK atas kecurangan yang terjadi  dalam pemungutan suara. Siapapun kita mungkin tidak ingin terjadi sengketa Pilgub DKI Jakarta, karena hal itu bisa menyebabkan konflik horizontal yang sangat merugikan masyarakat Jakarta sendiri, dan juga kepentingan nasional.
Kebanyakan kasus sengketa Pilkada sering dipicu karena tidak ada sikap siap menang dan siap kalah. Para calon hanya siap menang dan tidak mau terima jika mereka kalah. Sehingga dicari-cari bukti kecurangan untuk mendukung gugatan mereka atas sengketa Pilkada. Kecurangan sekecil apapun bisa berpotensi sebagai dasar hukum untuk mengajukan sengketa. Jika sudah terjadi sengketa maka proses Pilkada akan berlarut-larut karena harus ada pembuktian di MK, sidang yang membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Belum lagi ekses yang ditimbulkannya bisa menimbulkan gesekan di tengah-tengah masyarakat. Bahkan, tidak sedikit sengketa Pilkada menyebabkan aksi anarkis yang merusak fasilitas umum. Tentu masyarakat sendiri yang dirugikan jika ada konflik akibat sengketa pilkada tersebut.
Tentu kita tidak menginginkan terjadinya kisru di Pilgub DKI Jakarta. Walaupun begitu, semua pihak terutama KPU Jakarta dan Panwaslu harus bertindak adil dan netral dalam penyelenggaraan Pilgub DKI Jakarta putaran kedua 20 September ini, sehingga potensi kecurangan dalam pelaksanaan pencoblosan sampai penghitungan suara nanti bisa ditekan seminimal mungkin. Melihat ekstalasi sekarang ini, gesekan itu mungkin saja terjadi di tengah masyarakat Jakarta. Aparat keamaan harus bisa bertindak cepat, tegas dan tepat dalam mengatasi benih-benih konflik yang mungkin tersulut ketika pencoblosan dan penghitungan suara nanti.
Kita semua berharap para kandidat Calon Gubernur dan Wakil Gubernur bisa menunjukkan jiwa kepemipinan dan kearifan kepada rakyat Jakarta dengan berani mengendepankan sikap SIAP MENANG, SIAP KALAH menjelang dan saat pencoblosan serta yang terpenting pasca pengghitungan suara nanti. Sehingga kondisi kententraman dan keamanan masyarakat Jakarta tetap terpelihara dengan baik.
Jika ada calon yang SIAP MENANG tapi TIDAK SIAP KALAH, kemungkinan besar Pilgub DKI Jakarta putaran kedua ini bisa berpotensi sengketa. Semoga itu tidak terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H