Hasil final penghitungan manual KPU DKI Jakarta belumlah diumumkan. Tapi hasil quick count dua jam pasca penghitungan di seluruh TPS menunjukkan angka yang memenangkan pasangan calon Jokowi-Ahok, dengan rata-rata 54%, dan 46% untuk Foke-Nara. Hasil ini bisa menjadi gambaran hasil penghitungan manual nanti, yang pada putaran pertama hampir sama perhitungan quick count dengan hasil yang diumumkan KPU DKI Jakarta.
Tentu hasil penghitungan quick count hampir sama pada putaran pertama kemarin yang tetap diungguli oleh pasangan Jokowi-Ahok. Dengan kata lain, hampir dapat dipastikan Jokowi-Ahok memenangan Pilgub DKI Jakarta putaran kedua. Berarti Jakarta akan punya gubernur yang baru.
Melihat pertarungan mulai dari hasil pengumuman pemenang putaran pertama, dan masa kampanye banyak hal yang bisa dicermati yang menyebabkan kekalahan pasangan incumbent Foke-Nara. Saya membuat analisis sederhana hal-hal yang menyebabkan Foke-Nara kalah bersaing dengan Jokowi-Ahok, antara lain:
1) Sosok kepribadian Foke yang terkesan terlalu tinggi hati, merasa mampu mengatasi semua masalah, tidak begitu dekat dengan rakyat, mudah "meledak" emosi jika melihat hal yang tidak diinginkan.
2) Teknik komunikasi Foke yang tidak membuat nyaman orang-orang yang menerimanya. Sering membuat pernyataan yang kontra produktif  yang justru melunturkan citra dirinya sendiri.
3) Cara pencitraan yang terkesan terlalu berlebihan, tidak singkron antara realita dengan citraan yang dibikinnya sendiri.
4) Isu-isu SARA oleh tim sukses atau simpatisan pendukung pasangan incumbent ini, yang justru menjadi bumerang bagi popularitas sang calon yang mereka usung.
5) Mesin partai politik yang tidak efektif. Dukungan hanya pada deretan elit partai saja tidak menyentuh akar rumput. Sehingga banyak masa mengambang, yang inilah yang tak tersentuh keterikatan dengan kebijakan partai. Ada juga analisis yang mengatakan bahwa dukungan elit partai pendukung masih setengah hati, tidak totalitas yang seaka-akan bagi partai pendukung tidak ada pentingnya bagi kepentingan mereka menang atau kalah pasangan Foke-Nara. Karena sejatinya Foke-Nara adalah lambang kepentingan Partai Demokrat, yang kita ketahui Foke adalah dewan penasehat DPP Demokrat, sedangkan Nara adalah ketua DPD Partai Demokrat DKI Jakarta. Ditambah lagi citra PD yang akhir-akhir ini terjun bebas karena banyak kadernya yang terjerat kasus korupsi.
6) Banyaknya masa mengambang yang belum menentukan pilihan sehingga yang menjadi landasan dasar mereka adalah lebih cenderung memilih calon yang benar-benar dinilai mampu melakukan perubahan DKI Jakarta, yang mana pasangan Jokowi-Ahok mampu tampil sebagai sosok yang bisa menampung harapan mereka. Mereka inilah pemilih indepen yang memilih karena karakter tokoh dan visi misi yang mereka usung bukan semata-mata karena kebijakan partai atau pencitraan yang hanya lipstik kempanye politik yang tidak sesuai dengan realitanya.
7) Program kerja Foke-Nara yang tidak meyakinkan adanya perubahan mendasar bagi perbaikan DKI Jakarta tertuma untuk mengatasi macet, banjir dan keamanan. Rakyat Jakarta menilai bahwa Foke dalam lima tahun masa kepemimpinannya tidak memberikan perubahan yang berarti, walau ada kemajuan dan prestasi tapi tetap tidak bisa memenuhi ekspektasi warga Jakarta yang begitu kritis dan terdidik.
8) Dukungan pencitraan positif oleh media yang kalah dibandingan pasangan Jokowi-Ahok