Jual saja "budaya" itu, jika bangsa ini tidak mampu merawat, melestarikan dan mengembangkannya. Betapa kaya bangsa ini dengan budaya warisan leluhur yang begitu agung dan luhur yang memanusiawikan manusia, yang kaya unsur religius dan humanisme. Namun nyatanya, anak bangsa ini mulai melupakan budaya dan tradisi leluhurnya, dan lebih bangga "memakai" dan mengagungkan budaya populer impor, sebut saja itu westren sampai K-Pop dari negeri gingseng dengan gaya hidup yang begitu "memesonakan" kecantikan dan keganteng wajah orental.
Kalau kita tanya sama generasi muda sekarang, sejauh mana dia mengenal budaya bangsanya sendiri? Sudah berapa banyak nama tarian yang mereka ingat, dan sudah beberapa dia bisa menarikan tarian-tarian tradisional kita? Siapa saja budayawan dan artis budaya lokal yang mereka kenal namanya? Ah, tidak usahlah menanyakan hal-hal itu karena bagi mereka tidak penting-penting amat. Mereka akan sangat bangga dan juwana ketika bisa menyaksikan langsung konsengser Suju, Justin Bieber, atau si rocker cewek Lady Gaga. Apakah seumur hidup mereka sudah pernah melihat pergelaran wayang semalam suntuk, wayang golek, ludruk, tari tor tor, jaipong, randai, dll? Apakah seumur hidupnya mereka sudah belajar dan mampu menguasai satu jenis tarian tradisional? Wah-wah, itu jauh banget dari kenyataannya.
Sekarang kita heboh ketika negara tetangga mengklaim beberapa budaya leluhur bangsa ini menjadi budaya bangsa mereka. Di sini tidak diakui, tapi di luar negeri sangat diapresiasi. Bagi mereka budaya adalah aset untuk meraup dolar sebanyak-banyaknya dari wisatawan luar negeri, tapi di sini budayawan kita mati suri didera kemiskinan. Bualan besar jika kita begitu emosi dan marah ketika Malaysia mencatut tari tor tor dan gondang sembilan sebagai budaya mereka. Kita begitu mudah meledak tapi nol besar dalam aksi nyata melindungi budaya dan tradisi bangsa kita.
Aneh ya, bangsa sebesar Indonesia yang memiliki kekayaan budaya dan tradisinya tidak ada manuskrip yang lengkap dari asal-usul kebudayaan di daerah tersebut yang bisa jadi dokumen resmi negara. Sehingga jika ada klaim dari negara lain, kita memiliki argumentasi dan fakta yang otentik tentang kebudayaan kita tersebut. Kalaupun ada, itu hanya dokumen-dokumen usang (yang nyaris punah atau sengaja dijual kepada kolektor luar negeri). Miris ya, kalau ingin belajar budaya sendiri kita harus ke Leiden, Belanda, atau ke Amerika dan negara lain yang menyimpan dokumen-dokumen sejarah tentang kebudayaan kita itu.
Mari kita mulai arsipkan budaya dan tradisi lokal dalam cerpen, novel, esai atau artikel yang kita tulis.
*Belum ada kata terlambat untuk memulainya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H