Promo Blackberry Bold 9790 atau Bellagio di Pacific Place, Jumat (25/11/2011) kemarin  berakhir ricuh yang menyebabkan sebanyak 90 orang pingsan dan luka serta tiga orang mengalami patah tulang akibat ribuan yang mengantre tidak sabaran dan saling dorong. Kasus ini sempat menggegerkan dan menjadi headline di media massa cetak dan elektronik Nasional serta diekspos juga oleh media luar. Walau insiden tersebut tidak sampai ada yang meninggal dunia, tapi tetap memberikan sebuah gambaran yang ironis dari kondisi masyarakat kita saat ini.
Kalau ricuh antrian sembako itu sudah sangat akrab di telinga kita, atau yang meninggal kegencet waktu pembagian sumbangan (sebagian orang menyebutnya zakat) saat Lebaran sudah pun sering kita dengar. Tapi antrian beli Blackberry yang berjubel sampai ada yang pingsan dan patah tulang, sepertinya ini fenomena yang paling aktual saat ini dan juga mencengangkan. Mungkin saja bisa masuk Rekor MURI untuk pembelian Blackberry terbanyak dan juga tericuh.
Namun efek domino dari kasus Blackberry Bellagio ini tidak selesai sampai di sana. Korban kembali berjatuhan tapi kali ini bukan pingsan, luka-luka atau sampai patah tulang. Kapolsek Kebayoran Baru dan Kanit Intel Polsek Kebayoran Baru juga kena getahnya, mereka dipindahtugaskan alias dimutasi penghalusan dari kata "dipecat".  Memang sudah sepantasnya tindakan ini dilakukan karena mereka sangat bertanggung jawab atas terjadinya insiden tersebut. Karena sangat berkaitan dengan pengalaman dan pengendalian kerumunan massa. Seharusnya ada pihak lain yang layak dijadikan tersangka dalam hal ini, pihak penyelenggara even promo tersebut harus juga diminta keterangannya.
Terlepas dari semua itu, fenomena ini sungguh sangat mengherankan sekaligus merisaukan. Apakah memang kondisi masyarakat kita sudah makmur dan sejahtera sehingga kebutuhan akan alat komunikasi secanggih Blackberry sudah begitu mendesak? Atau, ini hanyalah efek negatif dari pola hidup konsumerisme yang secara bombastis dipropagandakan oleh media massa, iklan yang jor-joran bisa menjadi katalisnya. Tidak mungkin ribuan orang bisa berkumpul pada satu tempat yang tergiur oleh diskon besar-besaran untuk mendapatkan si Berry Hitam itu kalau sebelumnya tidak ada iklan yang gila-gilaan oleh penyelenggara atau si penjual produk Bellagio. Sepertinya pola budaya masyarakat kita sudah mulai berubah, dan "iklan" sudah begitu merasuki pikiran alam bawah sadar. Sudah saatnya kita bertanya pada ahli dan profesor antropologi dan sosiologi untuk menjelaskan fenomena ini. Semoga tidak akan ada lagi korban-korban berjatuhan untuk kejadian yang sama seperti ini di kemudian hari.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H